Makalah Fiqih Ekonomi dan Bisnis Islam
Fatwa DSN MUI tentang Bunga Bank dan Riba
Disusun oleh:
Kelompok 8
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas taufik dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Fatwa DSN MUI tentang Bunga Bank dan Riba” ini.
Rasa terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Arsyil Azwar Senja L.C., M.E.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Ekonomi dan Bisnis Islam yang selalu memberikan dukungan serta bimbingannya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan dari pembaca demi meyempurnakan makalah ini.
Harapan kami semoga penyusunan makalah ini dapat diterima dan dimengerti serta bermanfaat bagi kami dan pembaca.
Salatiga, 26 Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Rumusan Masalah 1
3. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 3
1. Dasar Hukum diharamkannya Riba 3
2. Dasar‐Dasar Penetapan Fatwa MUI tentang Bunga Bank dan Riba 3
3. Hasil keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia tentang Fatwa Bunga Bank, Desember 2004 4
4. Analisis terhadap Fatwa MUI tentang Bunga Bank 7
BAB III PENUTUP 9
1. Kesimpulan 9
2. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persamaan riba dengan bunga bank di zaman modern, dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Di satu pihak ada yang membedakan dan di pihak lain ada yang menyamakan antara keduanya. Beberapa orang islam terpelajar, mengatakan bahwa yang dilarang islam adalah riba bukan bunga bank. Mereka berpendapat bahwa bunga yang diantarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan as-sunah karena yang disebut riba hanya pinjaman untuk keperluan konsumtif. Adapun ulama dan sarjana muslim yang menyamakan keduanya adalah Tidur al-Qardawi. Menurut beliau, sistem bunga yang dipraktekkan dalam bank konvensional dewasa ini termasuk dalam kategori riba nasiah. Demikian pula menurut Syekh Muhammad Abu Zara bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharaman.
Dari latar belakang inilah cendikiawan muslim, ulama-ulama dan beberapa tokoh Islam merenung dan membahas kembali status bunga bank yang sebelumnya belum ada ketegasannya. Sebagai organisasi Islam, Majelis Ulama Indonesia berperan penting dalam memberikan suatu putusan yang jelas terhadap status bunga bank. Tetapi melihat realita dan kondisi sosial yang ada di masyarakat, mereka belum siap menghadapi penghadangan bunga bank. Hal ini memunculkan ijtihad. Hasil dari berbagai pemikiran ulama dan cendekiawan muslim di Indonesia dengan membentuk Komisi Fatwa maka memunculkan wacana baru berkaitan dengan status bunga bank haram.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum riba dan bunga bank dalam Fatwa DSN MUI?
2. Bagaimana analisis dari Fatwa DSN MUI tentang riba dan bunga bank?
C. Tujuan
1. Menjelaskan hukum riba dan bunga bank dalam Fatwa DSN MUI.
2. Menjelaskan analisis mengenai riba dan bunga bank menurut DSN MUI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum diharamkan Riba
1. Q.S Al-Baqarah : 275-276, yang artinya:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, karena mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
2. Q.S Al-Baqarah : 278, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman.”
3. Q.S Ali Imran : 130, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
4. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa, dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibnu Majah)
5. Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang yang menuliskannya.” (HR. Ibn Majah)
B. Dasar‐Dasar Penetapan Fatwa MUI tentang Bunga Bank dan Riba
1. Pendapat para ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT.
a. Al-‘Aini dalam ‘Umdah al- Qari’: “Arti dasar riba adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan arti riba dalam hukum Islam (syara’) adalah setiap kelebihan (tambahan) pada harta pokok tanpa melalui akad jual beli.”
b. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an: “Riba dalam arti bahasa adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan yang dimaksud dengan riba dalam al-Qur’an adalah setiap kelebihan (tambahan) yang tidak ada imbalannya”
c. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-i’ al-Bayan: “Riba adalah kelebihan (atas pokok utang) yang diambil oleh kreditur (orang yang memberikan utang) dari debitur (orang yang berutang) sebagai imbalan atas masa pembayaran utang”
2. Bunga uang atas pinjaman (qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat si peminjam (berhutang) tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai Forum Ulama Internasional.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa bunga.
C. Hasil keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia tentang Fatwa Bunga Bank, Desember 2004
1. Pengertian riba dan bunga bank menurut Fatwa DSN MUI
Bunga (interest, faidah) adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dan pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan diperhitungkan secara pasti di muka berdasarkan prosentase.
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya dan inilah yang disebut riba nasi’ah. Riba jenis kedua yang disebut riba fadhl ialah penukaran dua barang yang sejenis.
2. Hukum Bunga Bank
a. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
b. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
3. Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional
a. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
b. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/ hajat.
D. Analisis terhadap Fatwa MUI tentang Bunga Bank
Pengertian riba secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata riba yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan. Riba). Sedangkan menurut terminologi, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Riba adalah memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan kemungkinan mendapat risiko, mendapat harta bukan sebagai imbalan kerja atau jasa.
Masdar F. Mas’udi (salah satu tokoh NU), menyatakan bahwa fatwa MUI bersifat pendapat hukum (legal opinion) yang tidak memaksa dan tidak mengikat. Bahkan MUI sendiri, Menanggapi pro dan kontra yang mengiringi munculnya fatwa MUI tentang bunga bank ini, melalui ketua Komisi Fatwanya (K.H. Ma’ruf Amin) meminta agar masyarakat tidak perlu resah sehubungan dengan dikeluarkannya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank, karena fatwa tersebut bersifat fleksibel dan tidak mengikat sehingga masyarakat tidak harus menarik dananya dari bank‐bank konvensional. Dengan demikian walaupun secara tegas MUI menyatakan bahwa hukum bunga bank (interest) adalah haram, namun masyarakat tetap diberikan pilihan untuk mengikuti atau tidak fatwa tersebut. Namun bisa dipastikan bahwa golongan masyarakat yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam di negeri ini, tentu sangat apresiatif atas dikeluarkannya fatwa MUI tersebut.
Adapun dilihat dari segi isinya, terlihat bahwa penetapan fatwa bahwa bunga bank adalah sama dengan riba yang haram hukumnya tersebut, dilakukan setelah MUI melakukan kajian terhadap riba, selain secara normatif juga secara historis (kontekstual), yakni dengan melihat praktek riba pada masa Rasulullah dan praktek bunga pada masa sekarang. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa MUI telah beranggapan bahwa sesuai dengan kondisi dan konteks yang berkembang pada masyatakat Indonesia sekarang, fatwa tentang keharaman bunga bank ini sudah saatnya untuk ditetapkan. Karena dengan telah berkembangnya sistem perbankan yang didasari atas prinsip‐prinsin dan nilai‐nilai syari’ah (terutama untuk wilayah yang sudah ada kantor/ jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah), pada dasarnya sudah tidak ada alasan lagi bahwa bermuamalah (bertransaksi) pada perbankan konvensional yang identik dengan sistem bunga merupakan suatu kondisi darurat. Namun untuk wilayah yang tidak ada kantor/ jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah, menurut fatwa masih diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional, bendasarkan prinsip dharurat/hajat. Dengan demikian fatwa MUI tentang keharaman bunga ini, sangat memperhatikan kaidah: “Fatwa bersifat meringankan dan tidak memberatkan; memudahkan dan tidak mempersulit”. Dengan kata lain fatwa MUI tersebut telah memperhatikan faktor kondisi maupun kesiapan masyarakat sebagai khitab (penerima) fatwa tersebut. Jadi, kami setuju dengan diharamkannya bunga bank seperti dalam Fatwa DSN MUI, karena sesuai dengan syari’at Islam.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam Fatwa DSN MUI tentang bunga bank dan riba, menyatakan bahwa bunga bank merupakan kategori riba. Hukum riba dari berbagai sumber hukum dan sejarah pada zaman Rasulullah adalah haram. Maka, bunga bank ditegaskan dalam fatwa DSN MUI yaitu hukumnya haram. Dalam pelaksanaannya bunga bank di bank-bank konvensional masih diterapkan, karena fatwa sendiri bersifat tidak mengikat sebagai dasar hukum di Indonesia, tidak seperti Undang-Undang yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun bisa dipastikan bahwa golongan masyarakat yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam di negeri ini, tentu sangat apresiatif atas dikeluarkannya fatwa MUI tersebut.
B. SARAN
Seharusnya sistem bunga bank di Indonesia bisa dikurangi atau dihilangkan, karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah orang muslim. Atau Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia bisa ditambahkan jumlahnya melebihi bank konvensional, sehingga masyarakat yang beragama Islam bisa transaksi di Lembaga Keuangan Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiarto, Aidi. 2008. FATWA MUI TENTANG BUNGA BANK. Skripsi. Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta
Yuliantin. 2011. AL-RISALAH. Jurnal Kajian Hukum Islam dan Sosial Kemasyarakatan. Vol. 11 No. 2 (hlm 119-145)
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang BUNGA (INTEREST/ FA’IDAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar