Kamis, 31 Oktober 2019

Pandangan Islam Tentang Tanggung Jawab Social Bisnis II (Lingkungan Alam)

Nama : Khoirun Nissa Afina
NIM / kelas : 63020180064/ 5B
Jurusan : Ekonomi Syariah

Pandangan Islam Tentang Tanggung Jawab Social Bisnis II (Lingkungan Alam)

I. Pendahuluan 
Manusia dikenal sebagai makhluk multidimensi, namun berdasarkan pendekatan ekologis, manusia secara hakiki merupakan makhluk lingkungan (homo ecologies). Pada posisi seperti itu, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk selalu mencoba mengerti akan lingkungannya. 
Kecenderungan seperti ini menjadi salah satu ciri utama manusia sebagai makhluk yang berakal. Walaupun dengan akalnya (manusia bisa menalar mana yang baik dan mana yang buruk) ia tidak selalu melaksanakan hasil pertimbangan akalnya, sebab sering juga pertimbangan akal kalah dengan pertimbangan situasi dan kondisi lingkungan. Sebab apabila situasi dan kondisi lingkungan memungkinkan untuk dieksploitasi, maka di situlah nalar sengaja dikalahkan. 
Beragam bencana yang melanda bangsa di dunia, tanpa terkecuali Indonesia selama ini adalah akibat dampak kejahatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun serikat, sebagai user atau pengguna lingkungan. Kemerosotan lingkungan hidup di sekitar kita terutama sekarang ini semakin terasa, peran perusahaan sebagai pelaku proses produksi yang melakukan eksploitasi alam dan sumber daya sangatlah besar. Karena itu untuk menekan semakin parahnya kemerosotan lingkungan hidup ini maka pelaku bisnis di tuntut untuk melaksanakan suatu kegiatan yang tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi lebih memperhatikan kelangsungan hidup, kelestarian alam dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar tempat beroperasinya bisnis tersebut melalui suatu kaidah tanggung jawab sosial. 
Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji bagaiamana pandangan hukum Islam tentang tanggung jawab pelaku bisnis terhadap lingkungan. Pertama akan dikaji bagaimana tanggung jawab pelaku bisnis secara teoritis, dan juga regulasinya di Indonesia, kemudian mengerucut pada bagaimana hukum Islam merespon tanggung jawab tersebut. 
Pembahasan ini menjadi penting sebab banyak terjadi permasalahan lingkungan baik pencemaran dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab di lakukan oleh pelaku bisnis. Meskipun hanya terbatas pada pelaku bisnis sebagai subyek kajian namun kajian ini diharapkan bermanfaat secara umum terlebih tentang cara bagaimana seharusnya manusia memanfaatkan dan memakmurkan lingkungannya. 

II. Pembahasan 
A. Tanggung Jawab Perusahaan; teori dan regulasi 
Perkembangan bisnis modern ditandai dengan bangkitnya kesadaran di kalangan dunia usaha. Perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannnya sehingga masyarakat mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik (social benefit). Dalam diskursus wacana tanggung jawab tersebut dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibiity (CSR).
Mengacu dari beberapa literatur yang ada, definisi CSR sangat beragam dan belum ada konsensus umum mengenai definisi CSR. Namun demikian, CSR pada umumnya adalah proses pembuatan keputusan yang dihubungkan kepada nilai-nilai etika, mematuhi peraturan yang ada, dan menghormati orang, komunitas dan lingkungan.
Teori tanggung jawab perusahaan lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholder dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka atau pemegang saham (share holder).
Pada kesimpulannya CSR menurut Elisabeth Garriga dan Domence Mele dalam artikelnya Corporate Social Responsibility Theory: Mapping the Theory, CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama: 1) mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan, 2) menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab, 3) mengintegrasikan kebutuhankebutuhan sosial dan 4) berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. 
Di Indonesia regulasi yang mengatur soal tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) atau lebih spesifik lagi tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan memang telah membuat CSR tidak hanya menjadi suatu kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary), tetapi dengan sendirinya menjadi suatu kewajiban (mandatory) yang bermakna liability. Memperkuat kewajiban dalam pelaksanaan CSR oleh semua perusahaan, maka pemerintah mengeluarkan regulasi antara lain; 
1) Undang-Undang Tentang Perseroaan Terbatas No 40 Tahun 2007, serta peraturan pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan erbatas (PP/47/2012). Salah satu aturan UUPT menyatakan bahwa “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR dalam bidang lingkungan” (Pasal 74 ayat 1). 
2) Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU25/2007) Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 
3) Undang-undang No 32 Th 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab tersebut terdapat dalam Pasal 68. 
4) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. 
Regulasi-regulasi diatas menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial lingkungan merupakan kewajiban perusahaan yang harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
Terdapat empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia antara lain; (1) Keterlibatan langsung, (2) Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, (3) Bermitra dengan pihak lain, (4) 
Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Beberapa riset yang dilakukan di Indonesia terkait implementasi dalam kurun waktu 10 tahun akhir ini secara umum dapat disimpulkan antara lain; pertama, bahwa pebisnis umumnya melihat praktik tanggung jawab sosial lingkungan sebagai kegiatan yang memiliki makna sosial dan bisnis sekaligus. Artinya praktik tanggung jawab sosial lingkungan atau CSR masih dikaitkan dengan peningkatan citra korporat di mata masyarakat. Kedua, praktik CSR yang dilakukan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan dalam arti pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh kebijakan program yang terlalu kaku, implementasi yang salah, dan belum siapnya masyarakat calon penerima bantuan.
Menurut Prince of Wales Foundation ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR; (1) menyangkut human capital atau pemberdayaan manusia. (2) Environments yang berbicara tentang lingkungan. (3) Good Corporate Governance. (4) Social cohesion, artinya, dalam melaksanakan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial. (5) Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di luar lingkungan perusahaan (eksternal). Perusahaan sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar sudah selayaknya memikirkan kepentingan masyarakat di sekitarnya, karena perusahaan sebenarnya juga merupakan bagian dari masyarakat. 
Dengan demikian, dibalik penerapan CSR oleh perusahaan terdapat motivasi yang menonjol, yaitu demi menjamin keberlangsungan hidup perusahaan, meningkatkan citra perusahaan, dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Di samping itu, faktor pendukung utama penerapan CSR adalah adanya kesadaran dari perusahaan itu sendiri, meskipun motif nya sebagai upaya untuk menjaga hubungan baiknya dengan stakeholders. 

B. Tanggung Jawab Pelaku Bisnis Terhadap Lingkungan; Perspektif Hukum Islam 
a.  Fiqh al Bi’ah; asas pemanfaatan dan pelestarian lingkungan 
Dalam perspektif hukum Islam (fiqh), pelestarian lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fiqh, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. 
Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalan modern, semisal nasib lingkungan ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka digagas lah suatu aturan perspektif hukum Islam yang mengatur pemanfaatan dan pelestarian lingkungan yang dikenal dengan Fiqh al Bi‟ah atau Fiqih Lingkungan.
Fiqih lingkungan atau fiqh al-bi`ah adalah bagian dari fiqih kontemporer yang dimaksudkan untuk menyikapi isu-isu lingkungan dari perspektif yang lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan (hukum/regulasi) yang berinteraksi dengan lingkungan. 
Pendekatan fiqih memiliki keunggulan dibanding pendekatanpendekatan lain, semisal filsafat lingkungan, antara lain karena istilah “filsafat” belum di terima oleh semua kalangan-meminjam istilah Barat, filsafat lebih kearah metafisis/abstrak, sementara Fiqih terma yang diterima umat Islam, berkaitan hukum atau larangan, disamping karena umat Islam memerlukan aturan yang lebih praktis dengan bukti pola pikir bayini (seperti kecenderungan nalar fiqih) yang basis nya teks (nash) lebih dominan daripada pola-pola pikir lain („irfani dan burhani).
Dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, di nyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Konsep Islam tentang lingkungan dapat dilihat dari dalil-dalil al 
Qur‟an dan al hadis yang juga menjadi landasan teologis bagi aturan hukum Islam, sebagai berikut: 
1. Firman Allah swt o Manusia adalah khalifah untuk menjaga kemakmuran lingkungan hidup 
Dalam al-Qur‟an (khilafah) adalah konsep kunci dalam konteks fiqh al-bi`ah.. Sebagaimana dalam QS al An‟am:165 
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al 
An‟am:165) 
  
Manusia sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-ardl) memiliki amanah dan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi seisinya; bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk barang tambang, merupakan karunia Allah SWT yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat (mashlahah „ammah) secara berkelanjutan. Dan dalam proses eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud wajib menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup agar tidak menimbulkan kerusakan (mafsadah); 
o Firman Allah yang menegaskan bahwa Allah telah menjadikan dan menundukkan alam untuk kepentingan manusia, antara lain; QS. Lukman: 20, QS. Al-Hajj: 65, QS. Al-Baqarah: 29. 
o Firman Allah SWT yang menegaskan hubungan antara keimanan dengan memakmurkan bumi dan seisinya serta dampak negatif yang ditimbulkan jika tidak memperhatikan kaidah pelestarian lingkungan, antara lain: QS. Hud: 61, QS. Al-Rum: 9,  
o Firman Allah SWT yang melarang berbuat kerusakan di bumi, termasuk di dalamnya dalam hal pertambangan, antara lain; (QS. Al-A‟raf: 56), (QS. Al-Baqarah: 60), (QS. Al Qashash: 77), (QS al-Syuara‟: 183), (QS. Al-Rum: 41), (QS al-Baqarah: 195). 
o Merusak Lingkungan Adalah Sifat Orang Munafik dan Pelaku Kejahatan, seperti dalam (QS. Al-Baqarah [2]: 205). Serta perilaku kufur sebagaimana QS as Shad:27-28. 

2. Sabda Rasulullah saw, antara lain; 
o Hadis Dari Sa‟id ibn Yazid ra ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Barang siapa melakukan kezhaliman terhadap sesuatu pun dari bumi, niscaya Allah akan membalasnya dengan borgolan tujuh kali bumi yang ia zhalimi. (HR. Bukhari)
 
o Dari Jabir ibn Abdillah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang muslim menanam satu buah pohon kemudian dari pohon tersebut (buahnya) dimakan oleh binatang buas atau burung atau yang lainnya kecuali ia memperoleh pahala” (HR. Muslim) 
 
Dari Ibn Abbas ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR Ahmad, alBaihaqi, al-Hakim, dan Ibnu Majah) 
 
Aktifitas bisnis merupakan kegiatan yang berhubungan dan berkepentingan dengan lingkungan. Bisnis merupakan kegiatan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang disediakan oleh alam lingkungan. Dalam konteks pelestarian lingkungan, paling tidak ada tiga kelompok yang harus terlibat. Pertama, pengguna yaitu setiap orang di desa maupun di kota yang merupakan pengguna lingkungan. Kedua, kelompok khusus bagi para pengusaha atau pelaku bisnis. Pengusaha ini harus tahu betul bagaimana melaksanakan usaha yang terkait dengan lingkungan. Apakah lingkungan hidup yang terkait dengan angin, tanaman, hewan, atau lain-lainnya. Ketiga, yaitu kelompok umara (para pemimpin, penguasa). 
Jadi jelas sesuai dengan dalil diatas bahwa Islam sangat concern dengan permasalahan lingkungan, bagi Islam lingkungan adalah bukti dan tanda kekuasaan Allah. Mengingkari tanda dan ciptaan Allah dengan merusak, atau menganggap sia-sia adalah termasuk golongan orang kufur lingkungan atau kufur al Bi‟ah. Dan ini jelas ditentang oleh Islam.
Semua bentuk tindakan yang berakibat pada rusaknya keseimbangan dan kelestarian lingkungan dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Sebagaimana dijelaskan dalam (QS. Al A‟raf: 56). Disamping itu pengrusakan juga bertentangan dengan kaidah Ushuliyyah bahwa;“Kemudaratan itu harus di hilangkan” )ال ضَ ر رَ ي   زا لَ) atau Segala 
Madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin (ال ضَ ر رَ َي  دَف  عَ َب  قَ دَ رَ َ (الإمكان
Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaan nya.
 
b. Orientasi Maqashid Syariah Sebagai Kendali Bisnis 
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al Qur‟an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang adil (egalitarian) dan etis atau berdasarkan etika. Hal tersebut tampak dalam celaan al Qur‟an terhadap disequilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat Makkah pada waktu itu. 
Makkah adalah sebuah kota dagang yang ramai, tetapi di kota itu pun sangat kentara dijumpai eksploitasi terhadap orang-orang yang lemah, dan berbagai kecurangan di dalam berbagai praktek-praktek bisnis perdagangan dan keuangan. Jelas sekali al Qur‟an menggambarkan situasi yang bercirikan sikap kikir yang keterlaluan, sikap mementingkan diri sendiri, dan kemewahan disamping kemiskinan dan ketidakberdayaan. 
Tentu saja al Qur‟an tidak melarang manusia untuk mencari kekayaan. Sebaliknya ia memberikan nilai yang tinggi kepada kekayaan dengan sebutan sebagai kelimpahan dari Allah atau fadhlullah. Sebagaimana QS al Jumu‟ah (62:10) 
...ف ان  ت  ش رواَ فََ ا لْ  ر ضََ واب  ت  غ واَ م نََ ف  ض لََ ا ه للَّ.. َ
Artinya: “maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” 
Tetapi penyalahgunaan kekayaaan dapat menghalangi manusia didalam mencari nilai-nilai yang luhur sehingga kekayaan tersebut menjadi “sebagian kecil dari kelimpahan dunia” dan “delusi dunia”. Tanpa keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin, shalat sekalipun akan berubah menjadi semacam perbuatan munafik. Sebagimana QS al Maun (107:1-7) 
Maka dalam konteks diatas, bisnis yang memang dianjurkan oleh syari‟at Islam akan menjadi hal yang dicela oleh Allah swt. Tentu bila dari perilaku bisnis tersebut menimbulkan fasad fi al Ardhi kerusakan di bumi, atau “penyelewengan di atas dunia”, yang juga bisa diartikan “keadaan yang menjurus pada pengabaian hukum-hukum yang telah di tetapkan oleh Syari‟at. 
Maka dalam pelaksanaan bisnis baik bagi pelaku bisnis individu perseorangan atau serikat perusahaan, dalam mengambil kebijakan bisnisnya harus benar-benar berdasar pada Maqashid Syari‟ah. Terlebih pelaku bisnis yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Sebab yang diharapkan adalah mewujudkan kemaslahatan manusia. 
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima unsur pokok (usul alkhamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut alSyatibi, adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal). Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu dibagi kepada tiga tingkatan kebutuhan, yaitu daruriyat (kebutuhan primer, mesti), hajiyat (kebutuhan sekunder, dibutuhkan), tahsiniyat (kebutuhan tersier). Kebutuhan daruriyat ialah tingkatan kebutuhan yang harus ada sehingga disebut kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Memang dari rumusan tersebut tidak disebut secara jelas tentang pelestarian lingkungan (al Bi‟ah), namun mempertimbangkan menjaga lingkungan (hifdzu al Bi‟ah) atau menjaga alam semesta (hifdzu al Alam) adalah bagian dari Maqashid syari‟ah menjadi keniscayaan, setidaknya berikut pemaparannya; 
Pertama, memelihara alam semesta (hifdz al-„alam) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup, merupakan bagian integral dari tingkat keimananan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemeliharaan alam semesta (hifdz al-„alam).atau pemeliharaan lingkungan (hidz al Bi‟ah) dipandang sebagai bagian dari maqashid al-syari‟ah, sebagaimana yang ditawarkan oleh Al 
Qradhawi. Bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Hal ini sejalan dengan maqasid al-syari‟ah.
Dalam pandanganya,al-Qaradhawi merumuskan istilah: hifzal-bi‟ah min al-muhafazah „ala ad-din  (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara agama), hifz al-bi‟ah min al-muhafazah ala an-nafs (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara jiwa) , hifz al-bi‟ah min al-muhafazah „ala an-nasl (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara keturunan) , hifz al-bi‟ah min al-muhafazah „ala al-„aql (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara akal), hifz al-bi‟ah min al-muhafazah „ala al-mal (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara harta). Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Kedua, tanpa merubah struktur  (alkulliyatul al-khamsah) sebagaimana rumusan al Syatibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “ maala yatimmu al-wajib illa bihi fahua wajib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksanaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meski pun pemeliharaan alam semesta tidak termasuk dalam kategori  al-kulliyat al-khamsah, tetapi al-kulliyat al-khamsah itu tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta diabaikan. Atau dengan kata lain, meletakkan pemeliharaan lingkungan sebagai kebutuhan yang Dharuri dan pembahasannya pun menjadi pioritas (al Ashliyah). 
Sesuai dengan prinsip bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara‟, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syari‟at. Dengan kata lain, syari‟at atau hukum merupakan kendali bisnis atau nilai utama yang menjadi payung strategis maupun taktis bagi organisasi bisnis. 
Maslahah bertujuan melahirkan manfaat, persepsi yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan.  Konsep Maslahah tidak  selaras  dengan  kemudaratan,  itulah  sebabnya  dia 
melahirkan  persepsi  menolak  kemudaratan  (daf‟u mafsadah) seperti  barangbarang  haram, termasuk  syubhat,  bentuk  konsumsi  yang  mengabaikan  orang  lain  dan membahayakan diri sendiri.
Dengan demikian maqasid al-syari‟ah tidak terlepas dari dimensi insani. Dengan asumsi bahwa syariah Islam bertujuan menuntun manusia mencapai kebahagiaan. Tetapi ia bukan kemanusiaan yang berdiri sendiri, melainkan kemanusiaan yang memancar dari Ketuhanan (habl min al-nas yang memancar dari habl min Allah). Kemanusiaan itu diwujudkan justru dengan tidak membatasi tujuan hidup manusia hanya kepada nilai-nilai sementara (al-dunya) dalam hidup di bumi (terrestrial) ini saja, tetapi menerabas dan menembus langit (ecclesiastical), mencapai nilai-nilai tertinggi (al-matsal al-a‟la) yang abadi di akhirat. Karena itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai syari‟ah, demikian pula nilai syari‟ah mustahil berlawanan dengan nilai kemanusiaan. 
Dengan kendali syari‟at, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama; (1) target hasil yakni profit (materi) dan benefit (non materi), (2) pertumbuhan, artinya terus meningkat, (3) keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin, dan (4) keberkahan atau keridhaan Allah. Tujuan perusahaan atau pelaku bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) sebanyak-banyaknya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), baik melalui pemberdayaan masyarakat dan lingkungan secara sistematis, terencana dan berkesinambungan.  
Sehingga hasilnya adalah kelangsungan keberkahan hidup. 
III. Kesimpulan 
Beradsarkan uraian diats, beberapa hal bisa disimpulkan sebagai berikut; 
Pertama, perintah untuk memelihara lingkungan, dan sebaliknya, larangan merusak lingkungan terdapat jelas dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan haditshadits Nabi, dan termasuk di dalamnya pemeliharan keberlangsungan pemenuhan kebutuhan manusia. Ancaman bagi perusak lingkungan (mufsidin) berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur‟an. Bahkan, sebagaimana dijelaskan, eksistensi alam sering disandingkan dengan konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuhan dan benda tak bernyawa adalah mahluk Tuhan, sehingga perintah atau larangan menjadi bermuatan teologis. 
Kedua, Secara teoritis bahwa perusahaan harus menjalankan bisnisnya secara etis dan bertanggung jawab moral dan sosial terhadap lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Secara normatif tanggung jawab perusahaan sosial dan lingkungan telah diatur dalam tata perturan oerundangan. 
Ketiga, dalam konteks hukum Islam, tanggung jawab pelaku bisnis (baik perseorangan ataupun badan usaha) terhadap lingkungan tidak bisa terlepas dari fiqh al Bi‟ah, baik pendayagunaan dan pelestarian lingkungan hidup. Bentuk tanggung jawab pelaku bisnsi terhadap lingkungan secara umum yakni; pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya selain dengan kendali syari‟at, dalam mengambil kebijakan perusahaan harus berdasarkan pada maqashid syari‟ah dan unsur kemaslahatan. Termasuk didalamnya mempertimbangkan hifdzu al Bi‟ah, agar tercipta kelestarian dan kelangsungan keberkahan hidup. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar