Rabu, 25 September 2019

PERIODE KLASIK ORANG NUSANTARA PERGI KE TIMUR TENGAH

MAKALAH PERIODE KLASIK
ORANG NUSANTARA PERGI KE TIMUR TENGAH
Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Keindonesiaan
Dosen Pengampu : Nur Edi Prabha Susila Yahya, S. TH.I., M.Ag.

Disusun oleh :
Kelompok 2

Kelas 3 C

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
SALATIGA
2019



KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat serta anugerah-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul “Orang Nusantara Pergi ke Timur Tengah” ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Salatiga, 14 September 2019

Penyusun













DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR2
DAFTAR ISI3
BAB I4
PENDAHULUAN4
1.  Latar Belakang4
2. Rumusan Masalah4
3. Tujuan4
BAB II5
PEMBAHASAN5
A. Hubungan Awal Nusantara dengan Timur Tengah5
1.Sejarah Awal Nusantara dangan Timur Tengah5
2.Proses interaksi Nusantara dengan Timur Tengah6
B. Sumbangsih Neo-Sufism dalam Jaringan Ulama6
1.Jaringan Ulama di Haramayn abad ke-176
2.Neo-Sufism dalam Jaringan Ulama7
BAB III11
PENUTUP11
DAFTAR PUSTAKA12

BAB I
PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang
Pada abad ke-17, tiga ulama yang menjadi mata rantai ulama dari jaringan ulama di wilayah Melayu-Indonesia serta membawa ajaran Neo-Sufisme (keselarasan antara tasawuf dan syariat ) adalah berawal dari al-Raniri, al-Sinkii berkembang dikesultanan Aceh dan al- Maqassari lahir di Sulawesi yang memulai karirnya di Banten, Jawa Barat.
Sedangkan pada abad ke-18, ada beberapa ulama yang membawa pembaruan kembali ke Ortodoks Sunni berperan penting di Nusantara, antara lain: Abd Samad Al- Palimbani, Muhammad Muhyi Al- Din Bin Syihab Al – Din dan masih ada beberapa ulama lain.
Pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan salah satu masa paling dinamis dalam sejarah social-intelektual kaum muslim. Dimana, sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota suci ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, yang menciptakan jaringan keilmuan dan menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Dan kemudian melahirkan pula kesadaran ulama dalam jaringan untuk memperbaharui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Banyak ulama Melayu yang menunaikan ibadah haji dan tinggal di dua kota suci (Haramayn) selama beberapa tahun dalam rangka memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam, sehingga terdapat perkampungan khusus yang diberi nama “Perkampungan Melayu.
Pembaruan Islam di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ke-17,  pembaruan ini berorientasi pada tasawuf dan syariat (hukum). Pengembangan neo-Sufism yang dilakukan ulama Nusantara yang bersifat aktif terhadap syariat.  

2. Rumusan Masalah
1.Bagaimana terbentuk hubungan dan keilmuaan antara nusantara dan timur tengah?
2.Bagaimana sumbangsih Neo-Sufisme dalam jaraingan ulama?

3. Tujuan
1.Untuk mengetahui hubungan yang terjain antara keilmuan nusantara dengan timur tengah.
2.Untuk mengetahui sumbangsih para Neo-Sufisme dan siapa saja mereka.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Awal Nusantara dengan Timur Tengah
1.Sejarah Awal Nusantara dangan Timur Tengah
Hubungan antara kaum Muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. 
Timur Tengah sebagai negara asal kelahiran agama Islam menjadi penyebab utama maraknya generasi menuntut ilmu ke sana, sehingga terjadi transformasi keilmuan Islam khususnya di Indonesia dengan berdiri dan berkembangnya pesantren-pesantren sebagai sarana pembentukan pribadi muslim yang baik. Pemikiran-pemikiran di Timur Tengah tentang Islam sudah menjadi suntikan tersendiri bagi pergerakan-pergerakan untuk memajukan pendidikan Islam di Indonesia yang dilakukan oleh beberapa tokoh pergerakan Islam dengan mendirikan organisasi yang bertujuan mencerdaskan dan meningkatkan intelektualitas masyarakat Indonesia. Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaandi Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramayn ( Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17.
Selain berhaji, mereka juga membawa gelar sultan dari Syarif Mekkah (penguasa Mekkah). Yang kemungkinan bertujuan untuk penguat wibawa atau kekuasaan mereka. Selain bersifat politis, Nusantara dengan Timur Tengah juga memiliki hubungan keilmuan, dimana sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, semakin banyak pula yang menuntut ilmu yang kemudian mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya Ashab Al Jawiyin (saudara kita orang jawi).
Berdasarkan asal daerah dan waktunya penyebaran Islam dari Timur Tengah ke Indonesia dibedakan menjadi 3 gelombang:
a.Dari daerah Mesopotami, yang waktu itu terkenal sebagai Persia merupakan jalur utara. Dari wilayah Persia, Islam menyebar ke timur melalui jalan darat ke Afganista, Pakistan, dan Gujarat, kemudian melalui laut menuju Indonesia.
b.Melalui jalur tengah, yaitu dari bagian barat lembah Yordania dan bagian timur melalui semenanjung Arabia, khususnya Hadramaut yang menghadap langsung ke Indonesia.
c.Ketiga, melalui jalur selatan yang berpangkal di wilayah Mesir. Dari kota Kairo yang merupakan pusat penyiaran agama Islam secara modern.
2.Proses interaksi Nusantara dengan Timur Tengah
Proses interaksi antara Nusantara dengan Timur Tengah semakin intensif dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasyah di Irak, dan pada waktu itu Baghdad dan Basrah. Di samping pusat perdagangan antara dunia Islam, juga tempat menunut Ilmu pengetahuan, dan hal ini berlangsung selama 5 abad, yaitu sejak abad ke-8 sampai abad ke- 13 M (sejak jatuhnya Irak ke tangan Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu). Kemudian aktifitas perdagangan dan pelayaran serta tempat menuntut ilmu pindah ke Mesir. Dengan terbukanya Reusan Sue padatahun 1856, jumlah orang-orang dari Timur Tengah ke Nusantara pun meningkat, sementara orang-orang Nusantara yang hendak menunaikan ibadah haji pun semakin bertambah.
Faktor pendorong Islam cepat berkembang di Nusantara:
a.Syarat masuk Islam mudah
b. Islam bersifat terbuka
c.Tidak mengenal sistem kasta
d.Disebarkan secara damai
e.Runtuhnya kerajaan Majapahit

B. Sumbangsih Neo-Sufism dalam Jaringan Ulama
1.Jaringan Ulama di Haramayn abad ke-17
Tempat utama wacana pengetahuan dan keilmuan Islam itu adalah dua Mesjid Suci Makkah dan Madinah. Pada saat yang sama, madrasah-madrasah dan ribath-ribath juga tumbuh dalam jumlah besar di kedua kota itu, yang sebagian besar di antaranya berdiri dengan wakaf yang berasal dari para penguasa atau kaum Muslim kaya di bagian-bagian lain dari Dunia Islam.
Posisi strategis Haramayn (masjid Al-Haram dan masjid AlNabawy) sebagai pusat kegiatan keilmuan disamping berkembangnya madrasah-madrasah dan ribath-ribath disamping peranan para guru secara pribadi telah membangun hubungan-hubungan keilmuan yang berkembang dari semangat keilmuan yang dibangun di kedua pusat keilmuan diatas.
Banyak tokoh yang memainkan peranan penting dalam jaringan ulama mula-mula datang ke Haramayn untuk menjalankan ibadah Haji atau mengajar, atau dua-duanya. Sebagian di antara mereka kemudian menetap di sana dan mencurahkan tenaga mereka mengajar dan menulis. Bersama dengan para murid mereka, yang juga berasal dari banyak tempat yang jauh di Dunia Islam, mereka membentuk suatu bentuk komunitas kosmopolitan di Haramayn. Kontak-kontak yang secara teratur mereka jalin dengan berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam sumbangan yang sangat besar pada pembentukan sifat istimewa dan wacana ilmiah dalam jaringan ulama.  Dua ciri paling penting dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat.
2.Neo-Sufism dalam Jaringan Ulama
Neo-sufisme secara etimologi diasumsikan berakar kata dari bahasa Yunani ; neo yang berarti baru, sophis yang berarti arif, dan isme yang berarti ajaran atau aliran (Masrur, 2001: 103). Adapun pengertian neo-sufisme secara terminologi merupakan sebuah sufisme atau penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan, di samping mengharuskan praktik dan pengalaman keagamaan tetap terkontrol oleh ajaran al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad saw (Madjid, 1993: 93). 
Harun Nasution mengatakan bahwa tujuan sufisme yaitu: Untuk memperoleh kesempurnaan hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari Sufisme adalah adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Sedangkan menurut Sayyed Hussein Nasher, tujuan sufisme adalah tercapainya keadaan murni yang menyeluruh, bukan melalui peniadaan akal dan pikiran, melainkan melalui pengetahuan tiap unsur dari wujud seseorang menuju pusatnya sendiri yang benar. Sufisme bukan hasil suatu pikiran khusus melainkan penglihatan mata hati melalui suatu cara hidup. 
Ciri-ciri yang paling menonjol dari jaringan ulama adalah saling ada pendekatan antara ulama yang berorientasi oada syariat dan para sufi mencapai pucaknya. Sikap saling pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke tarekat mengakibatkan Neo-Sufisme. Menurut Fazlur Rahman ulama muslim yang bertanggung jawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan neo-sufisme adalah para ahli hadist.
Sejak permulaan Islam Haramayn telah dikenal sebagai pusat utama hadist, karena Nabi sumber hadist, hidup dan memulai ajaran Islam di sana. Lebih jauh lagi, dua dari empat madzhab ulama, yaitu Maliki Hanbal, dikenal sebagai ahli hadist, ikut dalam pengembangan dan menanamkan pengaruh di Jarizah Arab. Meski kaum Hanbali berpegang teguh pada hadist, mereka tetap menerima tasawuf asalkan dijalankan sesuai dengan syariat, seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim.
Tokoh neo-sufisme diantaranya Al-Qusyasyi yang mengetengahkan bahwa Nabi SAW adalah seorang sufi yang tidak pernah mengasingkan drinya dari manusia. Sufi sejati adalah orang yang dapat bekerjasama dengan muslim lainnya. Demikan pula Al-Kurani yang menekankan pentingnya syariat islam tanpa mengesampingkan kecintaannya pada tasawuf. Adapun neo-sufisme bila di hubungkan dan organisasi tarekat maka pada abad ke-17 ciri dari tarekat ini adalah tarekat organisasi secara longgar, tidak ada batasan jelas diantara sekian banyak tarekat, para syaikh dan murid sufi tidak harus setia pada satu tarekat saja. Al-Qusyasyi memberikan ajaran kepada muridnya apabila ada ajaran tarekat yang keluar dari syariat Islam maka diminta mereka keluar dari tarekat tersebut.
Hubungan Timur Tengah dengan Nusantara smakin kuat pada abad ke-17 dengan terbentuknya suatu jaringan Ulama Nusantara yang nyantri di Makkah. Prof. Azyumardi Azra menuliskan hal ini dengan detail dalam disertasi doktornya. Ulama Nusantara awal yang membentuk jaringan yang dikenal “Ashab Al-Jawiyyin” atau “Lingkar Komunitas Jawi” di Hijaz, meliputi:
a.Syaikh Nur Al-Din Al-Raniri
Nur al-Din Muhammad b. Ali b. Hasani al-Hamid al-Syafi'i al-Asy'ari al'Aydarusi ar-Raniri (selanjutnya disebut ar- Raniri), yang dilahirkan di Ranir. Ar-Raniri mendapat pendidikan di Ranir, dan kemdian melanjutkan di wilayah Hadramaut. Kemudian ia melanjutkan pergi ke Haramayn untuk menjalankan ibadah haji yang kemudian menjalin hubungan dengan muid-murid dan jamaah Jawi disana sebelum kembali ke gujarat. 
Adapun pengembangan hukum Islam pada masa ar-Raniri ialah pengembangan hukum Islam yang menekankan pentingnya shariat dalam praktik tasawuf. Sekali lagi hal ini beliau ambil karena beliau melihat tasawuf merupakan hal yang sangat melekat dalam masyarakat Aceh, sehingga ar-Raniri melihat bahwa menghadirkan fikih yang tepat pada saat itu ialah fikih yang diselaraskan dengan tasawuf. Apalagi pada masa sebelumnya  terdapat banyak tasawuf yang menyimpang, sehingga ar-Raniri ingin mengembalikan shariat bersamaan dengan tasawuf. Hal ini beliau wujudkan dengan menulis kitab Shirat al-Mustaqim di tanah Melayu. Dalam karya ini dia menegaskan tugas pertama setiap orang muslim dalam hidupnya, adalah  lurus atau konsisten sesuai dengan pengakuan imannya pada Allah SWT tanpa berpaling sedikitpun pada yang lain.
b.Abd Al-Ra`uf Al-Sinkili (1024-1105/1615-930)
Syeikh Abdurrauf memiliki nama lengkap Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Ra’uf bin Ali al- Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Dari nama ini terlihat bahwa dia adalah seorang Melayu dari Fansur, Singkel. Menurut pendapat Voorhoeve, Fansur berarti seluruh daerah pantai Barat Sumatera dan menerjemahkan kata tambahan nama itu dengan “orang Indonesia yang berasal dari pantai Barat Sumatera atau dari Singkel”.
Dan di masyarakat beliau lebih dikenal dengan julukan Teungku Syeikh Kuala.Syaikh Abdurrauf lahir di Singkel Aceh 1024 H/1615 M dan wafat di Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M, beliau adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang menetap di Singkel, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian belajar belajar pada ulama-ulama di fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses perjalannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Abdurrauf Singkili belajar ke Makkah dan Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani serta puteranya, Muhammad Thahir, di Madinah. Setelah kembali pada tahun 1661, ia menjadi ahli fiqih terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan zikir wirid Syatariyah. Muridnya menyebarkan ke Sumatera Barat melalui Burhanuddin Ulakan dan ke Jawa dengan Muhyiddin dari Pamijahan yang sampai sekarang masih diamalkan di pedesaan. Setelah belajar di Madinah pada Syeikh tarekat Syatariyah, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya, Ibrahim al-Kurani, Abdurrauf memperoleh ijazah dari pimpinan tarekat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan tarekat Syattariyah itu kepada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru di tempat lain.
Dilihat dari pendidikan, pengalaman dan guru-gurunya, menggambarkan Syaikh Abdurrauf al-Singkili seseorang yang ahli berbagai disiplin ilmu seperti  fiqh, hadits, tasawuf. Selain seorang faqih, beliau juga seorang sufi dan mursyid tarekat Syatariyah yang dikembangkan ke berbagai Nusantara. Dengan kedalaman ilmu dan pengalamannya menuntut ilmu diberbagai tempat dan guru di Timur Tengah, memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam menghadapi dan memediasi konflik di Aceh yang menimbulkan konflik dan perpecahan antar masing-masing pengikut aliran pada saat itu.
c.Muhammad Yusuf Al-Maqassari
Yusuf Al Maqassari lahir di Makassar, Nyantri di Makassar lalu ke Aceh. Kemudian ke Ranir dimana ia belajar pada Nuruddin Al-Raniri waktu tersingkir dari Aceh. Kemudian belajar di Hijaz. Pulang dari Hijaz dalam perjalanannya ke Makassar singgah di Banten. Syaikh Yusuf Al-Maqassari akhirnya dekat dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia menikahi salah satu anak perempuan sultan. Ia tidak bisa diam melihat apa yang dilakukan VOC Belanda. Ia megobarkan oerlawanan kepada belanda baik di Makassar maupun di Banten. Syaikh Yusuf Al-Maqassari juga dikenal memiliki karya tulis yang banyak dan berkualitas.
Selain Makkah saat itu para santri membuat jaringan di Kairo.Dikemudian hari para elajar di Kairo itu nantinya punya andil besar dalam mendorong Mesir dan Palestina mengakui Kemerdekaan RepublikIndonesia. Mesir dan Palestina dikenal dengan sebagai Negara pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan itu memiliki arti yang sangat penting bagi diplomasi dan  kedaulatan Republik Indonesia.
Berdasarkan pemahamannya yang dituliskan di dalam risalah-risalahnya, Syekh Yusuf mengemukakan ajaran-ajaran moral yang berlandaskan kepada semangat spiritual tasawuf. Di antara ajarannya yang berharga untuk dikaji adalah tentang konsep ‘arasy dan qolbu, insan kamil, ihatah dan ma`iyyah, fana dan baqa, syurut al-muhaqqiq (kewalian), maqamat, tentang hakikat ruh, zat dan sifat Allah, serta tanzih dan tasybih.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada tiga fase dalam kaitannya dengan hubungan muslim Nusantara dengan timur tengah. Yang pertama, sejak lahir abad ke 8-12 hubungan yang bersifat perdagangan diprakarsai oleh muslim Arab dan Persia. Yang kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan bersifat keagamaan dan kultural diprakarsai oleh pedagang dan pengembara sufi. Yang ketiga, sejak abad ke-16 sampai paruh ke dua abad kw-17 hubungan tersebut lebih bersifat politik disampig keagamaan.
Kebangkitan keilmuan serta jaringan ulama di Haramayn melalui berdirinya madrasah, ribath, dan zawiyyah. Serta para jama`ah haji dan para pedagang yang datang ke Haramayn tidak hanya menunaikan kewajibannya tapi belajar dan mengejar disana. Pembaruan islam di nusantara yang membawa ciri penyebaran neo sufisme. Adapun karakteristik penting lainnya dari wacan ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat. Ajaran-ajaran tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuhan kepada guru memberikan kekuatan tambahan kepada jaringan ulama.
Pembaruan yang dilakukan ulama Melayu Nusantara adalah penyebaran Neo-Sufisme di Nusantara. Disebut Neo Sufisme karena ajaran-ajaran yang diberikan oleh para ulama adalah mengajak umat untuk menaati Allah swt secara totalitas. Dengan praktek-praktek ibadah yang taat tetapi tidak meninggalkan urusan dunia.

B. Saran
Dari penjelasan diatas kami menyadari bahwa makalah tersebut banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.



DAFTAR PUSTAKA

Nurdinah Muhammad, Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut Pemikiran Azyumardi Azra, Jurnal Substania, Vol. 14 No. 1, 2012, Hal 76.
Nasuha, Model Penelitian Sejarah Islam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauaan Nusantara Abad XVII dan XVIII(Azyumardi AZra), Jurnal Saintifika Islamica, Vol. 1 No. 2, 2014, Hal 144.

Muhamad Nur, Neo Sufism Nusantara, Neo Sufisme Nurcholish Madjid, Hal 59.

Muh. Ilham Usman, Sufisme dan Neo-Sifisme dalam Pusaran Cendikiawan
Muslim, Tahdis, Vol 6. No 2, 2015, Hal 24-25.

Fahmi, Sejarah Pemikiran Hukum Islam di Indonesia pada Abad ke-XVII, Hal 5.

Muhamad Imron Rosyadi,  Jurnal Ilmu Hadis 2,1 (September 2017)

Ashab Al-Jawiyyin dan Taj Al-Salatin,  http:/www.ardiyansyahbs.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar