INKLUISIVITAS ISLAM DALAM TRADISI PELA GANDONG DI MALUKU
Makalah ini disusun Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah: Islam Keindonesiaan
Dosen Pengampu: Nur Edi Prabha Susila Yahya, S.TH.I.,M.Ag.
Disusun Oleh:
Khoirun Nissa Afina (63020180064)
Endah Wahyuni (63020180066)
Nur Hikromah (63020180067)
Pipit Wulandari (63020180069)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
A. Profil umat beragama di Maluku Tengah 3
B. Sejarah konflik di Maluku 3
C. Hakikat Budaya Pela Gandong 4
D. Manfaat Pela Gandong bagi masyarakat Islam di Indonesia 8
BAB III 11
PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maluku merupakan wilayah kerajaan yang dikenal dengan penghasil rempah-rempah terbesar di dunia seperti cengkeh dan pala. Sebagai penghasil rempah terbesar, banyak pedagang Eropa,Arab dan lainya memulai berdatangan. Kehadiran merekamuali berpengaruh di kehidupan pribumi seperti Ternate, Makian, Bacan, Moti, Tidore, dan Jailolo baik.
Setelah orde baru, Baharudin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarno Putri, Maluku menjadi focus pemerintah Indonesia diantaranya masalah kepentingan elit local dan agama, konflik yang dimuali sejak 1999 mengejutkan banyak pihak yang ditingkat nasional maupun internasional. Konflik pecah mulai dari etnis kemudian berkembang menjadi konflik agama Islam dengan Kristen.
Awalnya daerah ini merupakan daerah aman diikat dengan system adat budaya seperti Pela Gandong di Ambon dan Adat se atorang di Maluku Utara. Di mana Pela Gandong merupakan tradisi keturunan antara dua Negeri atau Desa yang berbeda Agama yakni Agama Islam dengan Agama Kristen. Hubungan ini didasari oleh kesadaran bahwa mereka adalah saudara yang harus saling menjaga, agar dapat tetap hidup rukun dan aman. Tradisi ini biasanya dilakukan melalui upacara panas pela yang mana pada upacara ini memiliki hubungan pela gandong akan memperbarui sumpahnya untuk mengikat tali persaudaraan yang terjalin diantara mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah konflik di Maluku?
2. Apa yang dimaksud Adat Pela Gandong?
3. Apa saja Manfaat Adat Pela Gandong bagi masyarakat di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah konflik yang pernah terjadi di Maluku
2. Mengetahui bagaiman Adat Pela Gandong
3. Mengetahui manfaat dari Pela Gandong
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil umat beragama di Maluku Tengah
Mayoritas penduduk Maluku Tengah adalah penganut agama Islam, yaitu sebanyak 223.765 jiwa atau 61,87%, selanjutnya penganut agama Kristen adalah sebanyak 131.674 jiwa atau 36,41%, sisanya merupakan penduduk yang menganut agama atau kepercayaan lain seperti Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, ada juga kepercayaan adat yang dianut oleh masyarakat local dari suku Alifuru sebanyak 0,64%.
Secara kultural sebagian besar penganut Islam di Maluku Tengah adalah penganut islam yang masih kental memegang budaya tradisi yang merupakan akulturasi dari ajaran islam dan tradisi local mereka, serta terdapat kelompok penganut islam adat yang ada di Pulau Haruku, khususnya di Negeri Pelauw. Selain itu, terdapat pula kelompok Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Wahdah, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir,dll. Terdapat pula penganut Syiah yang jumlahnya tersebar di beberapa tempat, seperti Jazirah Leihitu, Kota Masohi, Amahai, hingga Seram Utara.
B. Sejarah konflik di Maluku
1. Munculnya Konflik antar umat beragama
Konflik ini dimulai pada tahun 1999, sebelumnya hubungan antara Muslim dan Kristen di Maluku Tengah terjalin sangat baik serta terjadinya pembaruan pemukiman, seperti di banyak tempat kaum Muslim dan Kristen tinggal bersama di suatu pemukiman. Hubungan harmonis tersebut ditandai dengan saling membantu dalam pendirian tempat ibadah masing-masing, saling mengunjungi ketika hari besar agama, Idul Fitri maupun Natal, serta hubungan baik lainya hingga dapat terjadi kehidupan yang rukun di sana.
Awal konflik antar dua agama yaitu Islam dan Kristen terjadi ketika tahun 1999. Kejadian bermula dari dua orang yang berbeda agama yang berkelahi yaitu antara supir dan keneknya di pasar Mardika. Oleh karena terpancing emosi maka terjadilah konflik besar antara masyarakat Mardika dengan Masyarakat Batu Merah. Ketegangan atas perkelahian ini berubah menjadi kebencian yang diakibatkan orang-orang termakan isu yang tidak benar dan akhirnya lari ke SARA. kejadian itu terjadi pada saat hari Raya Islam, 19 Januari 1999. kejadian ini sangat terasa saat terjadi segregasi pemukiman antara umat Muslim dengan Kristen.
Konflik terjadi di Ambon pada Januari 1999, melahirkan isu-isu diskriminatif dengan lahirnya istilah BBM (Buton, Bugis, Makassar) dimana terjadi diskriminatif dan pengusiran terhadap pendatang. Konflik yang terjadi di Ambon terjadi hingga tahun 2003 adalah konflik agama.
Pembakaran Masjid dan Gereja banyak terjadi, konflik SARA memuncak ketika terjadi pembakaran Masjid Annur dan Gereja Silo di Kota Ambon bertepatan Natal 2001 yang dikenal dengan “Natal Berdarah”. Konflik Ambon mulai meluas dengan isu keterlibatan Laskar Jihad dan FKM/RMS dalam konflik Ambon.
Tak lama setelah konflik Ambon meletus, konflik pun terjadi di Haruku, Saparua, Jazirah Hitu, hingga wilayah Seram bagian Selatan. Di Haruku dan Saparua adalah kerusuhan yang terparah. Di Haruku satu negeri Kristen, yaitu Negeri Kariu harus terusir keluar dan butuh 10 Tahun untuk mereka kembali membangun ulang wilayah negeri mereka yang telah hancur. Sebaliknya di Pulau Saparua, 1 Negeri muslim, yaitu Negeri Lha harus rata dengan tanah dan penduduknya hingga saat ini tidak bisa kembali ke negeri mereka.
C. Hakikat Budaya Pela Gandong
Secara filosofi, pela bukan sekedar berhubungan yang dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun lebih pada itu yang merupakan ikatan social yang melintasi batas-batas kesukuran maupun agama (Islam atau Kristen) dari tiap desa/ negeri yang berpela. Pela adalah hubungan antara satu atau dua atau tiga negeri di Maluku yang terjadi karena adanya peristiwa sejarah yang dialami oleh masyarakat negeri itu, atau pela itu sumpah dan janji atau ikatan perjanjian antara negeri-negeri yang berpela. Pela Gandong sendiri merupakan hubungan atara negeri satu dengan negeri yang lain karena ada hubungan geonologi atau pertalian darah.
Pela sendiri ada tiga macam yaitu:
1. Pela keras yaitu adat yang terjadi karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah.
2. Pela Gandong yaitu didasarkan pada ikatan keturunan keluarga, yaitu satu atau beberapa suku/ marga mengklaim memiliki leluhur yang sama.
3. Pela Tampa Sirih adalah terjadi karena peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu negeri memberi bantuan kepada negeri lain.
Hakikat sumpah adat akan selalu mengikat masyarakat negeri-negeri yang berpela, serta menjadi pedoman dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Menjelaskan salah satu isi “sumpah adat” antara Negeri Batu Merah (Agama Islam) dengan Negeri Paso (Agama Kristen) yang berbunyi:
Demi Allah yang menguasai jagad raya ini, kami bersumpah mulai saat ini, kami mengangkat orang-orang Batu Merah sebagai Pela Kakak kandong e dan berlanjut sampai generasi penerus kami dan bila batu karang ini terbalik seperti semula, maka barulah putus hubungan kami.
Isi perjanjan pela gandong
1. Orang passa dan orang batu merah tidak boleh baku kawin.
2. Orang passa dan orang batu merah tidak boleh baku musuh.
3. Orang passa dan orang batu merah haru saling tolong menolong satu sama lain.
Upaya dalam penyelesaian konfik yang ada menggunakan adat Pela Gandong. Pada era sekarang ini adat yang ada di Indonesia harus dilestarikan dan semua unsur yang ada harus berperan didalamanya:
a. Pemerintah
Menganalisis faktor penyebab konflik oleh Pariela (2008), Ritiauw, (2008), yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab konflik sosial tahun 1999 di Maluku yakni tidak meratanya pambangunan. Ketidakmerataan pembangunan ini, telah berdampak pada kesenjangan sosial yang semakin menukik dan memberikan ketidak stabilan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka:
1). Percepatan pembangunan, yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan salah satu faktor yang harus diprioritaskan.
2). Penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi pelanggar hukum tanpa tebang pilih juga merupakan solusi untuk menghindari disharmonisasi sebagai bentuk reaksi atas ketidakadilan di depan hukum.
3). Penyediaan lapangan kerja yang memadai oleh pemerintah daerah sebagai bentuk dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat di Maluku.
4). Mengimplementasikan visi pemerintah daerah dalam kaitan dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Siwalima [Pela Gandong] sebagai wujud dari civic culture masyarakat Maluku melalui pendidikan dan seni, sehingga kelak menghasilkan masyarakat Maluku yang cinta akan persaudaraan melalui slogan “ale rasa beta rasa”.
b. Tokoh Agama
Peran tokoh agama dalam menjaga harmonisasi masyarakat Maluku memegang peranan penting. Apalagi akhir-akhir ini “Kebinekaan Yang Tunggal Ika” itu lagi digoncangkan dengan sejumlah hoax dan permainan cantik para aktor politikus yang mempergunakan isu SARA dalam memperoleh kekuasaan dengan menutup mata akan makna keberagaman di Indonesia. Isu ini juga hinggap sampai di Maluku yang pernah luka karena konflik antar agama. Namun, lagi-lagi kesadaran dan kecintaan akan hidupa bersama sebagai “orang basudara” telah menepikan sejumlah hoax dalam bingkai “orang basudara”. Penepian isu-isu tersebut, mendapat penanganan serius dari tokoh agama di Maluku.
Gereja, Mesjid, Pura, Wihara, di Maluku harus dijadikan tempat untuk menyuarakan “civic culture” sebagai wujud “hidup orang basudara”. Tokoh agama harus dapat membangun kerukunan yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila damn UUD 1945.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan misalnya; 1). Khotbah di Masjid, Gereja, Pura, Wihara dijadikan tempat penyebaran budaya “Pela Gandong” dalam wujud hidup orang basudara, 2). Pertemuan dan diskusi para tokoh agama dan masyarakat, 3). Pelibatan semua anggota masyarakat lintas agama dalam men-dukung agenda-agenda keagamaan di Maluku, misalnya pelaksanaan MTQ dan Pesparawi tingkat Propinsi dan Nasional, 4). Membangun silaturahmi antar sesama pemeluk agama melalui perayaan Idul Fitri, Natal, Waisak, Galungan dan Imlek.
c. Tokoh Masyarakat
Menjaga bangunan harmonisasi masyarakat Maluku, juga merupakan salah satu peran mutlak yang sudah seharusnya dilakoni oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat dalam kajian ini dipersepsikan sebagai sosok yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membangun masyarakat Maluku ke arah yang lebih baik misalnya tokoh politik. Paran para tokoh politik sudah sepatutnyan dapat mencerahkan masyarakat, menyatukan masyarakat yang mungkin saja telah terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang dimainkan oleh aktor politik itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa langkah yang harus dikem-bangkan diantaranya; 1). Menjadi corong penyampaian aspirasi masyarakat yang ber-keadilan, 2). Membangun basis-basis massa yang mengedepankan prinsip “hidup orang basudara” di Maluku, 3). Membangun diskusi lintas partai politik dalam menumbuhkan kehidupan masyarakat yang baik, 4). Menjadi alat negara untuk menyatukan masyarakat dalam bingkai NKRI.
d. Tokoh Adat
Provinsi Maluku terkenal dengan julukan “Negeri Raja-Raja”. Julukan ini mengisyaratkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Maluku masih sangat tinggi. Kepatuhan pada perintah “raja”, pada aturan adat, serta kepatuhan pada sumpah (baca=sumpa) adat masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, maka peran tokoh adat dalam menjalankan sistem pemerintahan haruslah dapat memberikan kontribusi pikir bagi masyarakat akan pentingnya internalisasi nilai-nilai budaya “pela gandong” yang menyatukan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, budaya, status sosial, status ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu, maka bangunan harmonisasi yang dapat dikembangkan tokkoh adat diantaranya; 1). Pelaksanaan upacara “Panas Pela” antara negeri-negeri yang berpela dalam kurun waktu tertentu, sebagai wujud internalisasi nilai budaya pela, 2). Pembiasaan budaya “Masohi” [gotong royong], “Pattita”, “Badati” antar negeri-negeri sebagai wujud “hidup orang basudara”, 3). Pertemuan para tokoh-tokoh adat di Maluku untuk mewujudkan Maluku yang terAdat.
D. Manfaat Pela Gandong bagi masyarakat Islam di Indonesia
Julukan Seribu Pulau yang disandang oleh Maluku adalah suatu kepatutan, selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun sub-suku yang ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi cultural, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai modal dasar kebersamaan dan persaudaraan dalam menciptakan perdamaian di Maluku, diantaranya adalah Pela Gandong
Pela merupakan suatu relasi perjanjian antara satu negeri dengan negeri lain baik yang terjalin antara negeri-negeri sedaratan dan berlainan pulau, juga antara etnis dan agama yang berbeda. Hubungan Pela ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut.
Sebagai suatu system hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19, dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.
Manfaat Pela dan Gandong Terhadap Kerukunan Hidup Beragama
Pela yang terjadi antara negeri-negeri atau desa-desa di Ambon terjadi akibat adanya hubungan persaudaraan dan adanya suatu peristiwa tertentu. Sebagian negeri atau desa yang terikat dalam suatu perjanjian pela memeluk agama yang berbeda, misalnya Desa Batu Merah (Islam) memiliki hubungan pela dengan Desa Passo (Kristen). Dengan adanya hubungan pela antara dua negeri yang berbeda agama, kerukunan hidup umat beragama dapat tercipta dengan baik. Kedua negeri saling membantu termasuk membangun rumah ibadah masing-masing, baik masjid maupun gereja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adat Pela Gandong bagi semua umat beragama di Indonesia data diterapak karena adat ini dapat memepersatukan perbedaan yang ada di Indonesia. Pela Gandong sendiri merupakan hubungan atara negeri satu dengan negeri yang lain karena ada hubungan geonologi atau pertalian darah. Bagi umat Islam sendiri dapat ditarik manfaat bahwa dengan hidup rukun dengan agama lain akan menciptakan lingkungan yang aman dan tanpa konflik walaupun berbeda kepercayaan.
Pela gandong mengajarkan bagaimana saling tolong menolong antar sesama umat manusia yang hidup di bumi yang sama. Budaya seperti ini harus tetap dijaga agar di Indonesia tidak terjadi konflik lagi yang pastinya akan mengancap kekuatan Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, H. (2015). Resolusi Konflik Melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pela Gandong di Kota Ambon. Jurnal Magister Politik Universitas Hasanuddin, 51-60. tgl akses 30 oktober 2019 jam 13.24
Ritiauw, Y. G. (2018). Eksistensi Pela Gandong Sebagai Civic Culture dalam Menjaga Harmonisasi Masyarakat di Maluku. SOSIO DIKTATIKA: Sosial Science Education Journal, 35-46. tgl akses 30 oktober 2019 jam 13.26
Kadir M, Abd. (2007). Pela Gandong Sebagai Basis Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Di Kota Ambon. jurnal al-qalam. tgl akses 30 Oktober 2019 jam 14:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar