Selasa, 19 November 2019

Falsafah DALIHAN NA TOLU (TUNGKU BERTIGA) DALAM MASYARAKAT BATAK DI SUMATERA BARAT

FALSAFAH 
DALIHAN NA TOLU (TUNGKU BERTIGA) 
DALAM MASYARAKAT BATAK 
DI SUMATERA BARAT
Dosen Pengampu : Nur Edi Prabha Susila Yahya. S.TH.I., M.Ag.

 

Disusun Oleh :
Kelompok 08
Halaman Judul
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala Puji dan Syukur selalu senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena setiap curahan rahmat serta anugerah-Nya, sehingga kami dapat menyelsaikan makalah Islam Keindonesiaan dengan judul “ Falsafah Dalihan Na Tolu (Tungku Bertiga) Dalam Masyarakat Batak Di Sumatera Barat ” . Kami berharap sekali makalah ini bisa berguna pada tujuan untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait dengan judul tersebut.
Lewat makalah ini, beragam tantangan telah penulis rasakan, oleh sebab itu, selesainya makalah ini tentu saja bukan hanya sekedar kerja keras dari penulis semata-mata. Tetapi karena bantuan dan dukungan yang diberikan oleh segenap pihak yang terlibat. Berkaitan dengan perihal ini, penulis disertai keikhlasan hati menghaturkan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk semua pihak yang telah membantu penulis untuk penyelesaian makalah Islam Keindonesiaan Ilmu ini. 
Terkait membuat makalah Islam Keindonesiaan ini, kami benar benar menyadari ditemukan banyak keterbatasan yang ada pada makalah ini. Dengan itu, kami sungguh-sungguh meminta saran beserta kritik yang membangun dari segenap pihak supaya makalah ini lebih baik lagi dan dapat berguna dikemudian hari.

Wassalamualaikum Wr. Wb. 
DAFTAR ISI


Halaman Judul i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN iv
A. Latar belakang iv
B. Rumusan Masalah v
C. Tujuan Penulisan v
BAB II PEMBAHASAN 1
A. Definisi Dalihan Na Tolu 1
B. Adat istiadat 2
C. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu 5
D. Penerapan Dalihan Na Tolu dalam suku batak 8
BAB III PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11

BAB I 
PENDAHULUAN 
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar belakang
Dalihan Na Tolu adalah nilai budaya yang menjadi sumber dari tingkah laku suku Batak dalam kehidupan bersosial budaya. Nilai budaya dan aturan merupakan pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tersebut antara lain menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, dan seterusnya sampai pada hubungan antar individu dengan individu dan kelompok baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Dalam bersosial budaya suku batak menganut sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan yang dimaksud dalam tatanan sosial adalah pola tingkah laku berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang menyatu secara terpadu dalam wujud ideal dan fisik kebudayaan. Suku Batak menerapkan sistem kekerabatan dalihan na tolu, Dalihan na tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. 
Orang Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu posisi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan dalam tatanan sosialnya. Sehingga kekerabatan yang ada dalam dalihan na tolu ditelusuri dari pihak keluarga bapak/suami. Dalihan na tolu dikategorikan sebagai modal sosial yang menyemangati etnis Batak Angkola untuk berinteraksi dalam pelaksanaan adat. Dalihan na tolu erat kaitannya dengan sistem kekerabatan, nilai sosial dan nilai agama. Agama yang dianut oleh etnis Batak Angkola adalah mayoritas menganut agama Islam. Dari sisi adat, kehidupan masyarakat Batak Angkola ditata oleh sistem dalihan na tolu, yaitu pertautan tiga (tolu) unsur kekerabatan; kahanggi (teman semarga), anak boru (kelompok pengambil istri) dan mora (pihak pemberi istri). Dalihan na tolu dianalogikan dengan tiga tungku, yang biasanya batu dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Dan jarak antara ketiga batu tersebut sama. Sehingga ketiganya dapat menyangga secara kokoh alat memasak diatasnya. Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga tungku secara bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama, atau sebagai kerja bersama. Karena itu dalihan na tolu disimbolkan dengan tiga tungku, bertujuan untuk menunjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga unsur tersebut disetiap aktivitas. Sebagai sistem kekerabatan, dalihan na tolu dijadikan pedoman berkomunikasi (berbahasa dan tutur), bertindak dan menyelesaikan masalah sosial. Dan dalam keyakinan keagamaannya juga menjadi norma kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari terjadi interaksi interdependensi antara adat dan agama baik disadari maupun tidak. Dalam pelaksanaan prinsip dalihan na tolu dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Dan sistem dalihan na tolu ini lebih sering digunakan dalam upacara (horja), baik upacara siriaon yang meliputi upacara perkawinan dan kelahiran dan upacara silulutan yang meliputi peristiwa kematian dan musibah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Dalihan Na Tolu ?
2. Bagaimana adat istiadatnya ?
3. Apa saja unsur dalam dalihan Na tolu ?
4. Bagaimana penerapannya dalam suku Batak di Sumatera Barat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Dalihan Na Tolu
2. Untuk mengetahui adat istiadat Dalihan Na Tolu 
3. Untuk mengetahui unsur dalam Dalihan Na Tolu 
4. Untuk mengetahui penerapannya dalam suku Batak di Sumatera Barat  
BAB II
PEMBAHASAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Dalihan Na Tolu
Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, Na artinya “yang”, tolu artinya “tiga”. Dalihan na tolu artinya tiga tiang tungku yang dibuat dari batu ditata dengan sedemikian rupa sehinggga bentuknya menjadi bulat panjang. Ketiga tungku memiliki panjang kaki 10 cm, panjang lebih kurang 30 cm dan diameter lebih kurang 12 cm ditanamkan berdekatan didapur yang disediakan dari papan tempat persegi panjang berisi tanah liat yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tersebut berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Besar dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga simetris satu sama lain, dan tingginya sama dan harmonis.
Dalihan na tolu bukan sekedar tungku nan tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Apabila salah satu diantara ketiga tungku rusak, masakan diatasnya akan tumpah. Karena itulah ketiga unsur harus dijaga agar tidak ada yang rusak, semuanya harus utuh agar kuat menyangga tungku. 
Dalihan na tolu menjadi pranata sosial dan dasar interaksi antar suku Batak dalam bertutur kata, panggilan dan cara bersikap, juga menunjukkan sistem kekerabatan Batak Angkola. Hak dan kewajiban dalam perkawinan, kelahiran, kematian, serta kedudukan seseorang dalam adat ditata dalam dalihan na tolu. Hubungan antara anak boru, mora, dan kahanggi (dalihan na tolu) tampak jelas dalam upacara-upacara adat dan penyelesaian pertikaian dalam masyarakat Batak.
Dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu berfungsi untuk menciptakan integrasi melalui perkawinan. Selain itu, fungsi dalihan na tolu merupakan pengenalan garis keturunan dan mengatur ketertiban dan jalannya pelaksaan tutur pada setiap individu masyarakat Batak, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat. Secara singkat, dalihan na tolu mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga, nilai tersebut diaplikasikan dalam bentuk sosial adat dalihan na tolu. 
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa dalam sistem sosial dalihan na tolu bagi suku Batak memiliki nilai filosofi yang penting, yaitu: 
1. menentukan kedudukan, hak, dan kewajiban seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, 
2. mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam kehidupan adat masyarakat, dan 
3. menjadi dasar untuk bermasyarakat dan mufakat masyarakat Batak. 

Pembagian berdasarkan sistem dalihan na tolu bukanlah sebagai pembagian kelompok sosial berdasarkan status, melainkan pembagian berdasarkan hubungan perkawinan yang dikaitkan dengan tempat dan situasi saat tertentu. Sebagaimana apa yang dikatakan A.G.P. Batubara bahwa dalihan na tolu sebagai suatu filsafat sosial yang tidak memutlakkkan status seseorang, terkadang menjadi Mora, pada kesempatan lain sebagai kahanggi dan mungkin sebagai anak boru. Ini menggambakan sistem sosial yang sangat demokratis. 
B. Adat istiadat
Adat budaya Dalihan Na Tolu Menurut T.M.Sihombing Dalihan Na Tolu atau yang sering disebut dengan “Tungku nan Tiga” adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Sedangkan menurut Kamus Budaya Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu adalah dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Batak, yang terdiri dari tiga unsur atau kerangka yang merupakan kesatuan yang tak terpisah (Marbun dan Hutapea, 1987: 37). 
Kelompok adat Dalihan Na Tolu terdapat pada semua suku Batak, walaupun istilahnya berbeda-beda namun maknanya sama. Pada masyarakat Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu, dengan unsur-unsur Dongan Sabutuha, Hula-hula, dan Boru. Pada masyarakat Mandailing juga disebut Dalihan Na Tolu, yang unsur-unsurnya terdiri dari Kahanggi yaitu keluarga semarga atau sedarah, Mora yaitu keluarga pihak istri (yang memberi istri), Boru yaitu keluarga yang mengambil istri atau keluarga menantu laki-laki. Pada 21 masyarakat Batak Karo disebut Sangkep Si Telu, yang terdiri dari Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru. Kemudian pada masyarakat Batak Simalungun disebut Tolu Sahundulan yang terdiri dari Tondong, Senina, dan Boru (Diapari dalam Sigalingging, 2000: 12). 
Istilah Dalihan Na Tolu berasal dari kata Dalihan yang artinya Tungku dan Na Tolu berarti Nan Tiga. Jadi dalam hal ini ada tiga buah batu yang membentuk satu tungku. Tungku yang terdiri dari tiga batu tersebut adalah landasan atau dasar, tempat meletakkan dengan kokoh periuk untuk memasak. Suatu tungku baru dapat disebut tungku yang sederhana dan praktis bila terdiri dari tiga buah batu yang membentuk suatu kesatuan atau tritunggal. Hal inilah yang menjadi kesamaan bentuk kesatuan tritunggal pada suku Batak yang terdiri dari 3 unsur hubungan kekeluargaan. Banyak sekali tritunggal, namun tritunggal ketiga batu tungkulah yang dijadikan orang Batak menjadi simbol hubungan kekeluargaanya. Misalnya: Seorang anggota masyarakat pada suatu waktu atau situasi tertentu dapat menduduki posisi sebagai boru, pada kesempatan yang lain menduduki posisi hula-hula, dan atau sebagai dongan sabutuha. Dengan kata lain, setiap orang akan dapat terlibat dalam posisi sebagai boru, sebagai hulahula, atau sebagai dongan sabutuha terhadap orang lain (Sigalingging, 2000: 10). 
Unsur-unsur Dalihan Na Tolu yang terdiri dari dongan sabutuha, hula-hula, dan boru harus kompak, bersatu dalam setiap kegiatan baik dalam menghadapi kebahagiaan seperti perkawinan maupun dalam kesusahan atau kemalangan. Orang Batak berkeyakinan kesejahteraan dan kebahagiaan akan terwujud apabila ketiga unsur fungsional Dalihan Na Tolu bersatu sebagaimana halnya dengan eksistensi manusia yang terdiri dari tiga unsur, yaitu hosa (nafas), mudar (darah), dan sibuk (daging). (Sigalingging, 2000: 12) 
Menurut orang Batak, tungku mempunyai kesamaan (analogi) dengan hubungan kekeluargaan. Persamaannya secara terperinci adalah sebagai berikut : 
1. Tungku tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Manusia memerlukan makanan untuk hidup. Berbicara tentang makanan, selalu terkait dengan dalihan (tungku) yaitu alat untuk memasak makanan. Selain itu tungku mempunyai fungsi yang lain yaitu tempat untuk berdiang menghangatkan tubuh dari udara dingin. Oleh karena itu pada masa lalu, manusia tidak dapat hidup wajar (di Toba) tanpa adanya dalihan (tungku). Falsafah Batak tentang tungku tercermin dalam ungkapan berikut ini: Si dua uli songon na mangkaol dalihan, Masak sipanganon huhut malum na ngalian. Artinya: Memeluk (mempergunakan) tungku memberi keuntungan yaitu makanan masak, dan hilang perasaan dingin. Dalihan Na Tolu adalah falsafah yang melandasi hubungan sosial masyarakat Batak. Dengan berpedoman pada Dalihan Na Tolu, segera dapat ditentukan status, fungsi, dan sikap sosialnya dalam berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya. 
2. Dalihan Na Tolu atau Tungku nan Tiga, ketiga batu tungku sebagai satu kesatuan adalah landasan atau dasar tempat meletakkan dengan kokoh periuk untuk menanak atau memasak lainnya, sehingga tidak ada isi periuk yang tumpah dan dapat masak dengan sempurna. Demikian dengan halnya Dalihan Na Tolu, berfungsi dengan sempurna menopang masyarakat Batak secara penuh keseimbangan. Kalau ada persoalan seperti kemalangan atau musibah, akan ditopang dan ditanggulangi oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu secara bersama-sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sehingga beban yang berat akibat musibah atau kemalangan dapat teratasi dengan baik. 
3. Untuk memanaskan atau memasak harus ada api. Api yang ada di tungku harus tetap menyala, agar tungku tersebut dapat berfungsi dan bermanfaat dengan sempurna. Api yang menghidupkan hubungan sosial dan solidaritas sesama orang Batak adalah marga. Dongan sabutuha, hula-hula, dan boru yang merupakan unsur Dalihan Na Tolu, merupakan suatu lembaga adat atau dewan musyawarah yang akan menentukan segala hal dalam kelompoknya. 
Dalihan Na Tolu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan semua konflik yang terjadi di kelompoknya melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat ataupun rapat warga. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu dapat berfungsi sebagai mediator diantara dua pihak yang sedang berkonflik. Tetapi jika mediasi ini mengalami kegagalan, maka hula-hula dapat bertindak sebagai arbitrator yang menyelesaikan konflik dengan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan yang bersifat memaksa (Basyaral Hamidi dalam Sigalingging, 2000: 17).  
C. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu 
1. Hula-hula / Mora 
Hula-hula adalah pihak pemberi anak gadis. Dalam arti sempit, hula-hula itu adalah orang tua dari isteri. Sedangkan dalam arti yang luas adalah semua pihak yang semarga dengan orang tua istri. Pihak hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat, sehingga harus disembah dan dihormati sekali oleh pihak boru. Hal ini sehubungan dengan bunyi pepatah “Hula-hula i do Debata na niida” Artinya : “ Pihak pemberi anak gadis itu adalah merupakan wakil Tuhan yang kelihatan. Sehingga segala doa serta restu dari pihak hula-hula ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dari pihak boru mereka. 
Pihak hula-hula menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Batak. Penghormatan tersebut harus selalu di tunjukan dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Orang Batak harus Somba marhula-hula, yang berarti harus bersikap sujud, tunduk, serta patuh terhadap hula-hula. Keputusan hula-hula dalam musyawarah adat sulit ditentang (Marbun dan Hutapea, 1987: 61). 
2. Dongan Tubu/ Kahanggi (Dongan Sabutuha Dongan tubu) 
Merupakan kelompok kerabat yang semarga yang berdasarkan garis keturunan Ayah. Dongan tubu dalam pergaulan seharihari adalah teman sependeritaan dan seperasaan di dalam suka maupun duka. Di dalam hal adat, pihak Dongan tubu ini adalah teman saparadatan (satu adat), sehingga sewaktu menerima dan membayar adat, mereka secara bersama-sama menghadapi serta menanggung segala resiko (Sitanggang, 1986: 40). Sedangkan menurut Marbun dongan tubu adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, Manat Mardongan Tubu (harus hati-hati terhadap sesama teman semarga). Para pemuda Batak yang merantau ke daerah lain, selalu mempunyai keyakinan dalam dirinya, bahwa saudaranya semarga di perantauan akan memberikan bantuan jika seandainya dia mengalami kesulitan. Memang rasa solidaritas dan persaudaraan dikalangan masyarakat Batak sangat kuat, meskipun mereka jauh dari daerah asalnya. Hal ini sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat Batak, yang tercermin dalam pepatah “Tali papaut, tali panggoman Taripar Laut, sai tinanda do rupa ni dongan” Artinya: Sekalipun menyeberangi laut, namun kita tetap mengenal dongan sabutuha (teman seperut) atau teman semarga (Sihombing, T.M., 1986: 75). 
3. Boru atau anak Boru Boru 
Merupakan pihak yang menerima anak gadis (boru). Setiap pihak boru harus berlaku hormat kepada pihak hula-hulanya. Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek Marboru (harus selalu bersifat membujuk terhadap pihak penerima anak gadis).  
Menurut orang Batak, boru ada dua macam yaitu hela atau suami putri kita (menantu), dan bere atau anak saudara perempuan kita yang menurut adat Batak masuk unsur boru mengikuti ibunya. Jika ditinjau secara kekeluargaan, hela atau menantu lebih dekat kepada kita dari pada bere. Tetapi jika ditinjau dari hubungan darah, maka bere lebih dekat kepada kita dari pada hela. Tentang bere berlaku semboyan: Sekali Bere, tetap Bere. Semboyan ini tidak berlaku pada bagi hela. Seorang menantu atau hela pada suatu saat bisa tidak menjadi hela, mana kala terjadi perceraian dengan putri kita. Oleh karena itu hela tidak bersifat tetap sebagaimana halnya dengan bere (Sihombing, T.M., 1986: 77). 
Menurut adat Batak, boru berkewajiban membantu hula-hulanya dalam segala hal, terutama dalam pekerjaan adat. Adat Batak memperkenankan hula-hula untuk menerima sumbangan dari pihak boru. Sedangkan pihak boru akan selalu berusaha agar dapat membantu hula-hulanya, bahkan adakalanya sampai berhutang, asalkan dapat memberi sumbangan kepada hula-hula. Sedangkan pihak hula-hula akan memberikan imbalan kepada pihak boru sebagai tanda kasih sayang (Sigalingging, 2000: 17). 
Jadi dengan demikian berarti bahwa bukan hanya pengantin pria atau perempuan itu saja yang menjadi boru, melainkan juga semua keluarga terdekat (teman semarga) dari pengantin pria tersebut. Lebih jelasnya yang dimaksud dengan boru yaitu Putri adalah anak perempuan dan Hela adalah menantu Pria.  
D. Penerapan Dalihan Na Tolu dalam suku batak
Filosofi adat batak yang telah beratus tahun menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat batak tersebut adalah Adat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yang berarti tungku yang berkaki tiga merupakan filosofi kedua dalam kehidupan masyarakat Batak setelah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa berkaki tiga? Hal itu agar supaya terjadi sebuah keseimbangan yang tetap menjaga keharmonisan hubungan dalam tungku kekeluargaan.
Ketiga istilah dalam Dalihan Na Tolu tersebut melekat pada diri setiap orang Batak. Setiap orang Batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu diantara hula-hula, atau berposisi sebagai boru dan atau berposisi sebagai dongan tubu. Hal itu tergantung sebagai apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat dilaksanakan. Contohnya pada sebuah acara perkawinan, saya akan berposisi sebagai hula-hula terhadap saudara perempuan saya, namun dilain pihak saya beserta istri juga akan berposisi sebagai boru terhadap saudara laki-laki dari pihak istri. Dan saya akan berposisi sebagai dongan tubu ketika saya bertemu dengan saudara yang semarga dengan saya.
Meskipun terlihat simple, namun ketika dirunut dalam sebuah pesta besar maka akan sangat sulit dan hanya raja adat dan para orang tualah biasanya yang sudah memahaminya dengan benar. Untuk prosesi pelaksanaan acara adat, selalu disesuaikan fungsi seseorang dalam acara adat tersebut. Terciptanya pola pikir demikian, karena relasi kekerabatan ditata dalam sistem dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun. Apabila melanggar tatanan adat, berarti melanggar petuah leluhur yang berarti pula menentang kehendak masyarakat sekitarnya yang tentu saja dapat menjadi bahan pembicaraan, atau dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya.
Setiap orang Batak dalam sebuah pesta/acara adat pasti akan berposisi diantara salah satunya yaitu mungkin akan melakoni sebagai hula-hula, atau boru atau dongan tubu. Itulah sebabnya diawal saya menyatakannya sebagai sebuah “roda yang berputar“ atau sebagai tungku yang berkaki tiga. Dengan adat yang kompleks seperti itu, Tak salah jika orang Batak disebut sebagai sebuah bangsa karena memiliki dan menjujung adat Dalihan Na Tolu.
Kearifan lokal adat Batak ini sampai sekarang masih tetap terjaga keharmonisannya ditengah keberagaman Indonesia. Bangso Batak selain menjaga keharmonisan Adatnya namun tetap mengutamakan nilai kebhinekaan Indonesia. Bahkan bangso batak dapat dikatakan menjadi katalis yang menjadikan Indonesia juga terkenal di dunia soal keragaman dan keunikan budayanya sehingga budaya lokal batak tersebar kepenjuru dunia lewat orang-orang batak yang merantau. Dengan demikian, kearifan lokal dalihan na tolu nyata memiliki potensi kuat merajut hubungan dengan siapapun.
BAB III
PENUTUP
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 
Dalihan na tolu bukan sekedar tungku nan tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Apabila salah satu diantara ketiga tungku rusak, masakan diatasnya akan tumpah. Karena itulah ketiga unsur harus dijaga agar tidak ada yang rusak, semuanya harus utuh agar kuat menyangga tungku.
Orang Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu posisi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan dalam tatanan sosialnya. Searah dengan ajaran agama islam yaitu posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Relasi kekerabatan, sumber dari aktivitas sehari-hari seperti tingkah laku masyarakat ditata dalam sistem dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun. Dan sistem kekerabatan dalihan na tolu mengajarkan bahwa masyarakat batak harus menghargai posisi orang lain dan bahkan mengajarkan untuk menghargai sesama.
Dalihan Na Tolu adalah falsafah yang melandasi hubungan sosial masyarakat Batak. Dengan berpedoman pada Dalihan Na Tolu, segera dapat ditentukan status, fungsi, dan sikap sosialnya dalam berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Demikian dengan halnya Dalihan Na Tolu, berfungsi dengan sempurna menopang masyarakat Batak secara penuh keseimbangan. Kalau ada persoalan seperti kemalangan atau musibah, akan ditopang dan ditanggulangi oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu secara bersama-sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sehingga beban yang berat akibat musibah atau kemalangan dapat teratasi dengan baik. Dan juga mampu menghidupkan hubungan sosial dan solidaritas sesama orang Batak adalah marga. 
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, D. (2016). Implikasi Sistem Kekerabatan Dalihan Na Tolu (Studi Pada Keluarga Urban Muslim Batak Angkola Di Yogyakarta), . Religi Jurnal Studi Agama-agama, 121-134.
Nainggolan, S. R. (2011). Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak. 24.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar