MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Islam Keindonesiaan
‘’Lembaga Kerapatan Anak Nagari Dalam masyarakat minang di Sumatra Barat’’
Dosen Pengampu: Nur Edi Prabha Susila Yahya,S.TH.I,M.Ag.
Disusun oleh:
Kelompok 09
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan taufik dan hidayahNya kami dapat mempersembahkan makalah ini yang berjudul Lembaga Kerapatan Anak Nagari Dalam masyarakat minang di Sumatra Barat yang budiman. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan cahayaNya menuju jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyelesaian makalah ini. Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Semoga amal baik kita semua diterima Allah SWT.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kami berserah diri serta memohon hidayah dan tambahnya ilmu.Semoga dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang budiman umumnya.
Salatiga,30 Oktober 2019
penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
a. Latar Belakang 4
b. Rumusan 4
c. Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
a. Sejarah Kerapatan Adat Nagari 5
b. Tugas dan Fungsi Kelembagaan Adat Nagari 7
c. Dasar Hukum Berdirinya Kelembagaan Adat Nagari 10
d. Cara Penyelesaian Sengketa Adat Oleh Kelembagaan Adat Nagari 10
BAB III PENUTUP 12
a. Kesimpulan 12
b. Saran 12
Daftar Pustaka 13
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki bata-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintah Negara kesatuan republik Indonesia dan juga nagari merupakan kumpulan dari beberapa jorong atau Korong yang memiliki tujuan dan prinsip yang sama.
Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.
Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno . Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.
Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah kerapatan adat nagari
2. Tugas dan fungsi kelembagaan adat nagari
3. Dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
4. Jenis sengketa dan Cara penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah adat nagari
2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi adat nagari
3. Untuk mengetahui dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
4. Untuk mengetahui Jenis dan cara penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau
BAB ll
PEMBAHASAN
A. Sejarah kerapatan adat nagari
Nagari adalah pembagian wilayah admistratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatra barat,Indonesia. Istilah nagari menggantikan istilah desa atau kelurahan. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati di Indonesia. Dalam sebuah nagari dibentuk kerapatan aadat nagari (KAN),yakni lembaga yang beranggotakan tungku tigo sajarangan. Yang merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama,cerdik pandai (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari).
Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno . Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.
Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, di mana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya. Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatra Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.
Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonomi, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.
Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal. Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatra Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun tetap harus mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Tugas dan fungsi kelembagaan adat nagari
1. Organisasi KAN
Penjelasan Pasal 1 huruf J Perda Nomor 13 tahun 1983 menyatakan bahwa KAN.adalah suatu lembaga tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berkembang di tengah- tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat selama ini. Lembaga ini merupakan suatu lembaga permusyawaratan dan pemufakatan sepanjang adat. Anggota KAN ini adalah pimpinan/ fungsional adat yang disebut penghulu dan atau urang ampek jinih.
Pasal 4, 5 dan 6 Perda Nomor 13 Tahun 1983 mengatur tentang organisasi KAN, Pasal 4 menyebutkan:
1) Disamping Nagari dikukuhkan KAN yang telah ada dan hidup di Nagari Sumatera Barat.
2) KAN terdiri dari unsur- unsur penghulu adat yang berlaku menurut sepanjang
adat dalam masing- masing Nagari sesuai dengan sistem penerapan antara lain:
a) Pucuk adat dan atau ketua.
b) Datuk- datuk kaampek suku.
c) Penghulu-penghulu andiko.
d) Urang ampek jinih.
3) KAN dipimpin oleh seorang ketua dan atau oleh pucuk adat.
Pasal 4 ayat 1 dalam penjelasannya megatakan Nagari tidak lagi merupakan suatu
organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia setelah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Negara semata- mata hanya mengatur kehidupan masyarakat sepanjang adat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh KAN.Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa, unsur KAN adalah:
a) Ketua, sebagai pimpinan KAN diangkat dari pucuk adat yang telah ada ataupun
terpilih, baik dalam sistem Koto Piliang maupun dalam sistem Bodi Caniago. Pucuk Adat ialah fungsional adat pada setiap Nagari yang mengikuti sistem adat Koto Piliang sebutan tersebut pada setiap Nagari tidak sama, misalnya Sandi Padek Rajo Adat, Tiang Panjang dan sebagainya. Sedangkan susnan lengkapnya disesuaikan yang telah ada dan hidup dalam setiap Nagari.
b) Datuk kaampek suku ialah jabatan adat yang turun temurun dalam suku pada
Nagari yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan pada Bodi Caniago
disebut Pangku Tuo Nagari.
c) Panghulu andiko ialah fungsional adat dalam sebuah kaum pada setiap
Nagari.
d) Urang ampek jinih ialah fungsional adat yang turun temurun sebagai
kelengkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, yaitu penghulu,
manti, malin dan dubalang dalam suku pada Nagari menganut sistem Koto
Piliang sedangkan pada sistem Bodi Caniago tidak turun temurun atau disebut
dengan gadang balego. Selanjutnya penjelasan ayat 3 disebutkan bahwa untuk
memimpin KAN dikukuhkan
pimpinan KAN yang telah ada menurut sepanjang adat yang berlaku pada
setiap Nagari.Bilamana dalam hal tertentu, terdapat kesulitan dalam
pengukuhan pimpinan yang ada sepanjang adat, maka untuk menjalankan
fungsi KAN dimaksud, dapat dipilih orang lain yang lebih memenuhi syarat-
syarat oleh kerapatan dalam sidang pleno KAN.
Pasal 5 Perda Nomor 3 Tahun 1983 menyebutkan bahwa:
1) Susunan KAN diatur dan ditetapkan serta disesuaikan dengan susunan yang
telah ada dan hidup pada tiap- tiap Nagari di Sumatera Barat.
2) Pimpinan KAN ditetapkan dengan musyawarah sepanjang adat dan
disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah melalui Bupati/ Kepala
Daerah.
Penjelasan Pasal 5 ayat 1 mengatakan bahwa konsekuensi logis dari
penjelasanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di
Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat adalah:
a) Beralihnya kedudukan pemerintah terendah yang langsung di bawah Camat
dariNagari kepada Desa.
b) Perlu diatur Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat oleh lembaga
Yang bernama KAN. KAN mempunyai sekretariat yang dipimpin oleh seorang Kepala Tata Usaha yang disebut Manti Nagari. Manti Nagari dipilih oleh dan dari seorang anggota KAN dan Manti Nagari bertanggungjawab kepada Ketua dan atau Pucuk adat KAN ( Pasal 6 Perda Nomor 13 Tahun 1983).
Pasal 9 Perda Nomor 13 Tahun 1983 menyebutkan bahwa, sekretariat KAN
mempunyai tugas mengatur dan menyelenggarakan Ketatausahaan Nagari yang meliputi
urusan:
1) Perdamaian adat.
2) Pembinaan dan pengembangan adat
3) Harta kekayaan Nagari
4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat Nagari
5) Keuangan Nagari
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kemungkinan kembali pembentukkan Pemerintahan Nagari
2. Fungsi KAN
Menurut ketentuan adat Minangkabau, KAN merupakan peradilan adat menurut
adat. Pengertian peadilan adat menurut adat disini adalah suatu proses, cara, mengadili dan menyelesaikan secara damai yang dilakukan oleh sejenis badan atau lembaga di luar pengadilan Negara seperti diatur dalam Undang- Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970. Di daerah Sumatera Barat atau yang lebih dikenal dengan Alam Minangkabau, peradilan menurut adat telah lama ada, dimulai sejak zaman pra Minangkabau sebelum berdiri kerajaan Pagaruyung.
Pasal 3 ayat 1 Perda Nomor 13 Tahun 1983 mengatur tentang fungsi Negara sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:
1) Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan
pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.
2) Mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat di dalam Nagari.
3) Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal- hal yang
menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari guna kepentingan hubungan
keperdataan adat juga di dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata.
4) Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai- nilai adat minangkabau
dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
Minangkabau pada khususnya.
5) Menjaga, memelihara, memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan
masyarakat Nagari.
C. Dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
Dalam peraturan daerah nomor 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai kesatuan masyarakat hokum adat yang berfungsi dalam membantu pemerintah demi melancarkan pelaksanaan pelaksanaan pembangunan di segala bidang,
mengurus urusan hukum adat dan istiadat. Memberikan kedudukan hukum menurut hukumadat terhadap hal- hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari, menyelenggarakan pembinaan dan mengembangkan nilai- nilai adat Minangkabau serta menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari. Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-pemuka masyarakat yang dianggap patut, maka di Nagari dibentuklah Kerapatan Adat Nagari yang keanggotaannya terdiri dari ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai” (pemuka masyarakat, alim ulama dan kaum terpelajar) mereka ini terkenal dengan nama Tali tigo sapilin atau tigi tungku sajarangan (ketiga kelompok orang tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya ditengah- tengah masyarakat Nagari), yang mewakili sukusuku dan jorong- jorong yang jumlah anggotanya disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing Nagari yang bersangkutan.
Keputusan- keputusan Kerapatan Adat Nagari menjadi pedoman bagi Kepala
Desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat Nagari dan aparat Pemerintah
dan berkewajiban membantu, mengegakkan sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan dan Perundang- Undangan yang berlaku.
D. Jenis dan penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau
1. Jenis sengketa di Minangkabau
a. Sengketa mengenai gelar (sako)
Sengketa mengenai gelar (sako) adalah sengketa yang berkaitan dengan gelar
yang diterima secara turun temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya adalah
sebagai kepala kaum- kepala adat (penghulu) dan sako ini sifatnya turun temurun
semenjak dahulu sampai sekarang, menurut garis ibu sampai ke bawah.
b. Sengketa mengenai harta pusaka (pusako)
Sengketa mengenai harta pusaka (pusako) ialah sengketa yang berkaitan dengan
harta pusaka tinggi, seperti sawah, ladang, benda buatan , labuah tapian, rumah
tanggo, pandam, pakuburan, hutan, yang yang belum diolah. Sengketa mengenai
perdata lainnya adalah terjadi antara keluarga masyarakat, seperti perkawinan,
perceraian dan lain sebagainya.
c. Sengketa perdata lainnya.
2. Penyelesaian sengketa adat oleh KAN
Menurut hukum adat Minangkabau, bila terjadi sengketa/ perselisihan dalam suatu kaum maka penyelesaiannya dilakukan dalam suatu musyawarah diantara anggota kaum yang dipimpin oleh mamak kepala kaumyang berakhir pada KAN Prinsip utama pengambilan keputusan di Minangkabau, baik dalam situasi sengketa
maupun non sengketa. Termaksud di dalam tiga pepatah tersebut. Pepatah pertama, merujuk kepada persyaratan bahwa pengambilan keputusan harus dibuat melalui proses musyawarah menuju mufakat. Keputusan yang benar hanya terjadi apabila sakato atau mufakat telah tercapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan- persoalan yang harus diselesaikan.
Pepatah kedua, penghulu sebagai pimpinan, tetapi dia tidak bisa berbuat seenaknya saja, sebab ia tunduk pada mufakat anggota KAN. Kata mufakat hanya bisa dicapai apabila orang menerima nilai- nilai abstrak tertentu misalnya akal sehat dan kepatutan, apa yang mungkin akhirnya kebenaran.
Pepatah ketiga, menentukan prinsip- prinsip yang menentukan peringkat- peringkat pengambilan keputusan. Ia menyebutkan seseorang hendak mencoba mengambil keputusan pada tingkat yang serendah mungkin, proses itu harus dimulai dari dasar anak tangga dan tidak boleh anak tangga yang dilewati. Apabila keputusan telah mencapai tingkat tertentu, keputusan ituharus ditirunkan kembali melalui anak tangga kepada para pihak yang bersengketa.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa proses penyelesaian sengketa adat terutama
sengketa mengenai gelar adat (sako) dan sengketa mengenai pusaka (pusako) menurut hukum adat minangkabau, dilakukan menurut sepanjang adat yakni berjenjang naikbertangga turun, dimulai dengan Kerapatan Adat Kaum, Kerapatan Adat Suku, dan berakhir pada KAN..
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud dengan lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau adalah lembaga adat yang meliputi rumah gadang, mamak suku, lembaga kerapatan adat MInangkabau dan nagari. Lembaga adat minangkabau ini pada dasarnya memiliki fungsi sosial yang memiliki pengaruh, dan merupakan suatu kebutuhan mutlak serta mutlak adanya untuk berlangsungnya secata terintegrasi terhadap adat, setrukutur sosial dan pranata sosial yang ada didalam lingkungan masyarakat minangkabau. Oleh karena itu lembaga adat minang kabau ini memiliki peran dan fugsinya menjaga tata tertip kemasyarakatan melalui system pengendalian sosial yang bersifat memaksa yaitu hokum adat dalam bentuk” cupak nan duo, kato nan ampek, undang-undang nan ampek, dan nagari non ampek” untuk melaksanakan peran dan fungsinya diatas lembaga adat Minangkabau di sokong oleh suatu system alat kekuasaan seperti adanya manti, dubalang, malim, yang diorganisisr oleh lembaga kerapatan adat minangkabau dalam nagari. Dalam lembaga adat minang kabau ini terdapat adanya kewajiban anggota kaum kerabat dalam kaum atau sukunya untuk menaati system kekerabatan yang diatur secara stuktural kedalam lembaga adat minang kabau yang menyebabkan adaya daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat minangkabau itu.
B. Saran
Apabila ditilik peran dan fungsi lembaga adat minangkabau ini secara keseluruhan yang menggambarkan adanya identitas system sosial dan budaya masyarakat minangkabau, maka diserahkan agar pemerintah dan masyarakat minangkabau tetap mempertahankan system kelembagaan adat yang terintegrasi itu. Sebab, jika tidak demikian, maka dikuatirkan suatu ketika masyarakat minangkabau kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Kato, Tsuyoshi, (2005), Adat Minangkabau dan merantau dalam perseptif sejarah, PT Balai Puataka, ISBN 978- 979-690-360-3.
Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A.Dt.,(1959), Tambo Minangkabau dan adatnya, Jakarta: Balai pustaka.
L C Westenek de Minangkabausche Nagari, penerbit dan bursa buku fakultas hukum dan universitas andales, 1981, hlm. 85
Idrus hakimi, Op. Cit, hlm.80
Keebert von Benda – Beckmann, Goyahnya tangga menuju mufakat peradilan nagari dan peradilan negeri di minangkabau, Grafindo, Jakarta, 2000, hlm. 2