MAKALAH
MAQAMAT DALAM TASAWUF : TAUBAT DAN SABAR
Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Di susun Oleh :
Ngamaliyatul Chabai (63020160146)
Muhamad Abdul Faza (63020160149)
Evy Ihsani (63020180068)
Deffi Salsabila Inaedi (63020180087)
Tri Wahyuningsih (63020180120)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (S1)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik sebagaimana yang kami harapkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungankita Nabi besar Muhammad saw yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia dimuka bumi dan menyempurnakan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Maqamat dalam Tasawuf : Taubat Dan Sabar.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak menemukan kesulitan, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat beberapa kekurangan. oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran khususnya dari dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf yaitu Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.serta para pembaca yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini. Demikianlah kata pengantar yang dapat kami berikan daripada makalah ini, semoga makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan manfaat.
Salatiga, 1 April 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
A. Definisi Maqamat 2
B. Taubat 3
C. Sabar 7
BAB III 10
PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah.
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani. Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Maqamat ?
2. Apa Yang Dimaksud Maqamat Taubat ?
3. Apa Yang Dimaksud Maqamat Sabar?
C. Tujuan
1. Mengetahui Maksud Dari Maqamat .
2. Mengetahui Maksud Maqamat Taubat.
3. Mengetahui Maksud Maqamat Sabar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak mu’annats dari kata al-maqam. Dalam bahasa Indonesia ia berarti kedudukan, derajat atau pangkat. Sedangkan dalam terminologi ilmu tasawuf ia adalah kedudukan seseorang hamba dihadapan Allah, yang didapatinya melalui ibadah dan mujanadat serta latihan-latihan sepiritual lainya.
Untuk mencapai tingkat tertinggi dalam tasawuf seseorang harus melewati beberapa tahapan jalan yang disebut maqamat. Maqamat dalam pandangan al-qushairi adalah pembuktian seorang hamba berada dalam kedudukan tertentu dari etika dan setiap orang berada di maqamnya sendiri, dan hal ini melalui al-riyadah. Dia tidak bisa naik pada maqamnya tertentu sebelum memenuhi maqam sebelumnya, seperti seorang tidak bisa dikatakan qana’ah jika tidak tawakkul, dan seorang tidak bisa dikatakan tawakkul sebelum dia taslim (berserah diri secara utuh), seorang sebelum taubat tidak akan menjadi inabah dan seorang tidak bisa dikatakan wara’ sebelum dia zuhud.
Memperhatikan dalam bentuk jamak, al-maqamat bisa juga diberi pengertian sebagai tingkatan-tingkatan pendekatan untuk menuju tuhan yang harus dilalui sebagai seorang sufi secara bertahap. Seorang yang berada dalam satu tingakatan (al-mawam) dituntut mampu menyempurnakan sebelum ia pindah ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Misalnya, seorang yang belum lulus dalam station al-qama’at belum boleh pindah ke station al-tawakkul. Seterusnya pula, seserang yang belum teruju ketawakalanya belum bisa menduduki maqam al-taslim, yang lebih tinggi derajatnya.
B. Taubat
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam pertama. Diantaranya sebagai berikut :
1. Abu Ya qub Yusuf ibn Hamdan al-Susi,
Menyebut bahwa maqam (tingkat) pertama dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah tobat.
2. Al-Qusyairi
Jugamemandang tobat sebagai maqam pertama diantara maqamat kaum sufi dan manazil (tahapan) pertama diantara manazil (tahapan-tahapan) yang dicapai oleh para salik.
3. Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili (w.1332 H./1913 M.),
Tokoh tarekat Naqsyabandiyah dari etnis kurdi, memandang tobat merupakan awal semua maqamat. Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa tobat, seorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.
Secara literal, tobat berarti “Kembali”. Dalam prespektif tasawuf, tobat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, kemudian kembali kepada Allah. Kembali kepada Allah bermakna mengerjakan segala yang disukai-Nya. Dalam hal ini ada sebuah Hadits qudsi yang menyatakan :
“Hamba-Ku yang secara kontinyu mendekat kepada-ku dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika aku mencintainy, maka Aku akan menjadi pendengarnya yang denganya ia mendengar, menjadi matanya yang denganya ia melihat, menjadi tanganya yang denanya ia memukul dan menjadi kakinya yang denganya ia berjalan.”
Tobat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena selama ia belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti ia tidak kebal terhadap godaan-godaan setan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang. Bahkan pandangan al-Ghazali, bertaubat secara segera merupkan kewajiban yang tak diragukan lagi, karena adanya sebuah pengetahuan bahwa maksiat-maksiat yang dilakukan akan menghancurkan sendi-sendi iman.
4. Sahl al-Tustari (200-282 H/815-896 M.)
ketika ditanya tentang tobat, ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak melupakan (selalu ingat) dosa-dosamu”. Mengingat dosa maksudnya membersihkan hati dan bisikan-bisikan hati kecil, angan-angan dan pengaruh-pegaruh yang mengajak kepada perbuatan dosa. Tobat juga menurut Al-Tustari, adalah menghentikan sikap menunda-nunda. Maksudnya suka menunda-nunda bersegara menuju Allah. Al-Junaid, ketika ditanya tentang tobat, menjawab, “Hendaknya engkau melupakan dosamu.” Secara bahasa, pernyataan al-Tustari kelihatanya berbeda dengan al-Junaid. Namun jika ditilik lebih mendalam, secara substansi keduanya sepakat bahwa dosa harus senantiasa dihindari dengan cara diingat-ingat atau dilupakan.
Secara lebih detail, al-Junaid selanjutnya berpandangan bahwa tobat itu memiliki tiga makna, Pertama, menyesali kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang dilarang Allah, dan ketiga, adalah menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya.
5. Abu Bakar al-Wasithi (w.331 H../ 942 M.)
Secararadikal menyebut bahwa taubat sejati adalah tidak menyisakan pengaruh maksiat sedikitpun, baik secara batin maupun lahir.
6. Al-Ghazali
Menjelaskan bahwa taubat memiliki dua sasaran. Pertama, taubat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa taubat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda hitam, keras, dan kotor. Hati yang demikian tidak akan merasakan kenikmatan beribadah dan tidak merasakan manisnya mendekatkan diri kepada Allah. Sekiranya Allah tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berdosa, niscaya ia akan jatuh kedalam kekafiran dan kehancuran. Kedua, taubat menentukanditerimanya amal ibadah seseorang oleh Allah. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaatan, ibadah, dan dosa yang dilakukan seseorang belum diterima Allah selama orang itu bergelimang dosa.
7. Pandangan al-Sarraj
Dalam pandangan al-Sarraj, taubat terbagi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut :
a. Taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin),para pembangakang (muta’arridhin), para pencari (thalibin), dan para penuju (qashidin).
Menurutnya al-Sarraj, jawaban al-Susiy tentang taubat (Hamdan al-Susiy ketika ditanya tentang taubat,ia menjawab, “taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu menuju kepada yang dipuji oleh ilmu”), adalah jawaban mengenai taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), para pembangkang (muta’arridhin), para pencari (thalibin) dan para penuju (qashidin), mereka ini adalah orang-orang yang kadang bertaubat kadang lalai. Begitu pula dengan definisi taubat yang dibaut oleh al-taustari (bahwa taubat adalah tidak melakukan dosa) ditunjukan kepada kelompok ini.
b. Taubat ahli haqiqat atau kaum khawwas (Khusus).
Menurutal-sarraj adalah taubatnya orang-orang ahli haqiqat, yakni meraka yang tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka, dan mereka senantiasa mengigat (zikir) kepada-Nya. Hal ini juga seperti definisitaubat dibuat oleh Ruwaim ibn Ahmad, ia mengatakan, “taubat adalah dari taubat.” Juga Dzunun al-Mishari ketika ditanya tentang taubat ia mengatakan,” taubat orang awam dari dosa-dosa, sednag taubat kaum khawwas dari kelalaian”
c. Taubat ahli ma’rifat dan kelompok istimewa (khusus al-khuhus)
Menurut al-Sarraj, pandangan ahli ma’rifat, wajidin (orang-orang yang mabuk kepada Allah), dan khusus al-khusus tentangpengertian taubat, adalah seperti yang dijelaskan oleh Abu Husain al-Nuri (w. 295 H./ 908 M.), ketika ditanya tenang taubat, ia menjawab, “taubat adalah engkau bertaubat (berpaling) dari segala sesuatu selaian Allah.” Pernytaan ini kiranya sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh Dzunun al-Mishri (180-256 H./796-829 M). Bahwa dosa-dosanya yang dekat (muqarrabin) sama dengan kebaikan-kebaikannya orang-orang yang baik.
Maqamtaubat ini, menurut al-Sarraj, membutuhkan maqam wara. Taubat menyesal atas perbuatan-perbuatan terdahulu yang tercela dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, hanya bisa sempurna dengan bersikap wara’, yakni menghindari dan menjauhi hal-hal yang syubhat, sia-sia, dan tak ada manfaatnya dalam kacamata syari’ah. Seseorang yang sudah bertaubat berarti ia sudah membebaskan dirinya dari kotoran-kotoran rohani. Dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menahan dari perbuatan sia-sia.
C. Sabar
Sabar adalah suatu maqam yang amat penting dalam kehidupan spiritual seorang muslim. Secara literal (shabr) berarti menahan atau menanggung. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga adab dihadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjahui larangan-nya, serta tabah pula dalam menghadapi setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan. Seperti firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 127:
وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ
Artinya : ”Bersabarla(engkau Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah”.
Maqam shabr, menurut al-sarraj, membutuhkan maqam tawakkal. Shabr yang berarti menahan diri, tetap berakhlak mulia dalam menanggung musibah yang menimpanya dan selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjahui larangannya, serta tak pernah bersikap putus asa, hanya bisa dicapai dengan sempurna melalui sikap tawakkul, yakni memasrahkan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan mencukupkan diri dengan-Nya semata seorang yang sabar berarti ia harus benar benar percaya kepada Allah seingga segala urusannya dan apapun peristiwa yang menimpa dirinya ia serahkan dan pasrahkan kepada Allah secara penuh dan ikhlas.inilah relevansi kebutuhan maqam shabr terhadapmaqamtawakkul.
Menurutpandanganpara sufi, doronganhawanafsudirisendiri, yang setiapsaatdapatmenggoyahkaniman, inilah yang menjadimusuhterberatbagi orang-orang yang beriman. Hal67
Sabar merupakan salah satu kunci dari keberhasilan untuk mencapai atau meraih karunia Allah yang lebih besar, berhasil dalam mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta, dan mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, sebab tanpa adanya kesabaran keberhasilan tidak akan tercapai. Diriwayatkan bahwa Rasullah bersabda “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaannya tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, ia aka nmengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah ”(HR al-Tirmizi). Cobaan yang Allah berikan tidak selalu pedih dan pahit, akan tetapi cobaan sering hadir dalam kenikmatan, perasaan takut akan kekurangan dan hal lainya yang berkaitan dengan duniawi, merupakan cobaan Allah yang di rasa pahit oleh jiwa. Cobaan yang ada hanya dapat di hadapi dengan sabar. Cobaan yang Allah berikan kadang juga ada pada hal yang menyenangkan seperti harta kekayaan, pangkat serta jabatan.
Sabar terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Sabar billahi (dengan Allah)
Sabar billahi memiliki makna pertolongan terutama ketika mendapatkan cobaan. Dalam hal ini maksud dari kata pertolongan itu sendiri adalah bahwa kesabaran yang ada bukan atas hasil usahanya melainkan karena bantuan Allah. Rasa mahabbah kepada Allah saat menjalaankan perintah-Nya juga kandungan yang ada dalam sabra billahi, maksudnya yaitu bahwa kesabaran yang dilakukan muncul karena rasa cintak epada Allah dan bukan karena ketidak berdayaan.
b. Sabar lillahi (karena Allah) memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan sabra billahi, yaitu kesabaran yang ada adalah karena Allah
c. Ma’aAllahi (bersama Allah) yaitu sabar untuk mengikuti semua kehendak Allah
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut untuk saling meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam pertama. Taubat adalah menyesal atas perbuatan-perbuatan terdahulu yang tercela dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, hanya bisa sempurna dengan bersikap wara’, yakni menghindari dan menjauhi hal-hal yang syubhat, sia-sia, dan tak ada manfaatnya dalam kacamata syari’ah. Seseorang yang sudah bertaubat berarti ia sudah membebaskan dirinya dari kotoran-kotoran rohani. Dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menahan dari perbuatan sia-sia.
Seperti sabar, Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Alllah kepada orang-orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Bahari, M. Z. (2005). Menembus Tirai Kesendirian-nya (Mengurai Maqamat dan ahwal dalam tradisi sufi. Jakarta: Prenada Media.
Suryadilaga, M. A. (2016). Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Kalimedia.
Tamrin, D. (2010). Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Lahut). Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI).
Al-Jauziyah, Ibnu al-qayyim. (2010). Sabar dan Syukur. Semarang: Pustaka Nun,
Sabtu, 25 Mei 2019
Makalah taubat dan sabar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar