MAKALAH
MAQAMAT DALAM TASAWUF : TAUBAT DAN SABAR
Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Di susun Oleh :
Ngamaliyatul Chabai (63020160146)
Muhamad Abdul Faza (63020160149)
Evy Ihsani (63020180068)
Deffi Salsabila Inaedi (63020180087)
Tri Wahyuningsih (63020180120)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (S1)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik sebagaimana yang kami harapkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungankita Nabi besar Muhammad saw yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia dimuka bumi dan menyempurnakan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Maqamat dalam Tasawuf : Taubat Dan Sabar.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak menemukan kesulitan, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat beberapa kekurangan. oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran khususnya dari dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf yaitu Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.serta para pembaca yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini. Demikianlah kata pengantar yang dapat kami berikan daripada makalah ini, semoga makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan manfaat.
Salatiga, 1 April 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
A. Definisi Maqamat 2
B. Taubat 3
C. Sabar 7
BAB III 10
PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah.
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani. Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Maqamat ?
2. Apa Yang Dimaksud Maqamat Taubat ?
3. Apa Yang Dimaksud Maqamat Sabar?
C. Tujuan
1. Mengetahui Maksud Dari Maqamat .
2. Mengetahui Maksud Maqamat Taubat.
3. Mengetahui Maksud Maqamat Sabar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak mu’annats dari kata al-maqam. Dalam bahasa Indonesia ia berarti kedudukan, derajat atau pangkat. Sedangkan dalam terminologi ilmu tasawuf ia adalah kedudukan seseorang hamba dihadapan Allah, yang didapatinya melalui ibadah dan mujanadat serta latihan-latihan sepiritual lainya.
Untuk mencapai tingkat tertinggi dalam tasawuf seseorang harus melewati beberapa tahapan jalan yang disebut maqamat. Maqamat dalam pandangan al-qushairi adalah pembuktian seorang hamba berada dalam kedudukan tertentu dari etika dan setiap orang berada di maqamnya sendiri, dan hal ini melalui al-riyadah. Dia tidak bisa naik pada maqamnya tertentu sebelum memenuhi maqam sebelumnya, seperti seorang tidak bisa dikatakan qana’ah jika tidak tawakkul, dan seorang tidak bisa dikatakan tawakkul sebelum dia taslim (berserah diri secara utuh), seorang sebelum taubat tidak akan menjadi inabah dan seorang tidak bisa dikatakan wara’ sebelum dia zuhud.
Memperhatikan dalam bentuk jamak, al-maqamat bisa juga diberi pengertian sebagai tingkatan-tingkatan pendekatan untuk menuju tuhan yang harus dilalui sebagai seorang sufi secara bertahap. Seorang yang berada dalam satu tingakatan (al-mawam) dituntut mampu menyempurnakan sebelum ia pindah ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Misalnya, seorang yang belum lulus dalam station al-qama’at belum boleh pindah ke station al-tawakkul. Seterusnya pula, seserang yang belum teruju ketawakalanya belum bisa menduduki maqam al-taslim, yang lebih tinggi derajatnya.
B. Taubat
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam pertama. Diantaranya sebagai berikut :
1. Abu Ya qub Yusuf ibn Hamdan al-Susi,
Menyebut bahwa maqam (tingkat) pertama dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah tobat.
2. Al-Qusyairi
Jugamemandang tobat sebagai maqam pertama diantara maqamat kaum sufi dan manazil (tahapan) pertama diantara manazil (tahapan-tahapan) yang dicapai oleh para salik.
3. Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili (w.1332 H./1913 M.),
Tokoh tarekat Naqsyabandiyah dari etnis kurdi, memandang tobat merupakan awal semua maqamat. Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa tobat, seorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.
Secara literal, tobat berarti “Kembali”. Dalam prespektif tasawuf, tobat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, kemudian kembali kepada Allah. Kembali kepada Allah bermakna mengerjakan segala yang disukai-Nya. Dalam hal ini ada sebuah Hadits qudsi yang menyatakan :
“Hamba-Ku yang secara kontinyu mendekat kepada-ku dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika aku mencintainy, maka Aku akan menjadi pendengarnya yang denganya ia mendengar, menjadi matanya yang denganya ia melihat, menjadi tanganya yang denanya ia memukul dan menjadi kakinya yang denganya ia berjalan.”
Tobat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena selama ia belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti ia tidak kebal terhadap godaan-godaan setan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang. Bahkan pandangan al-Ghazali, bertaubat secara segera merupkan kewajiban yang tak diragukan lagi, karena adanya sebuah pengetahuan bahwa maksiat-maksiat yang dilakukan akan menghancurkan sendi-sendi iman.
4. Sahl al-Tustari (200-282 H/815-896 M.)
ketika ditanya tentang tobat, ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak melupakan (selalu ingat) dosa-dosamu”. Mengingat dosa maksudnya membersihkan hati dan bisikan-bisikan hati kecil, angan-angan dan pengaruh-pegaruh yang mengajak kepada perbuatan dosa. Tobat juga menurut Al-Tustari, adalah menghentikan sikap menunda-nunda. Maksudnya suka menunda-nunda bersegara menuju Allah. Al-Junaid, ketika ditanya tentang tobat, menjawab, “Hendaknya engkau melupakan dosamu.” Secara bahasa, pernyataan al-Tustari kelihatanya berbeda dengan al-Junaid. Namun jika ditilik lebih mendalam, secara substansi keduanya sepakat bahwa dosa harus senantiasa dihindari dengan cara diingat-ingat atau dilupakan.
Secara lebih detail, al-Junaid selanjutnya berpandangan bahwa tobat itu memiliki tiga makna, Pertama, menyesali kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang dilarang Allah, dan ketiga, adalah menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya.
5. Abu Bakar al-Wasithi (w.331 H../ 942 M.)
Secararadikal menyebut bahwa taubat sejati adalah tidak menyisakan pengaruh maksiat sedikitpun, baik secara batin maupun lahir.
6. Al-Ghazali
Menjelaskan bahwa taubat memiliki dua sasaran. Pertama, taubat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa taubat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda hitam, keras, dan kotor. Hati yang demikian tidak akan merasakan kenikmatan beribadah dan tidak merasakan manisnya mendekatkan diri kepada Allah. Sekiranya Allah tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berdosa, niscaya ia akan jatuh kedalam kekafiran dan kehancuran. Kedua, taubat menentukanditerimanya amal ibadah seseorang oleh Allah. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaatan, ibadah, dan dosa yang dilakukan seseorang belum diterima Allah selama orang itu bergelimang dosa.
7. Pandangan al-Sarraj
Dalam pandangan al-Sarraj, taubat terbagi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut :
a. Taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin),para pembangakang (muta’arridhin), para pencari (thalibin), dan para penuju (qashidin).
Menurutnya al-Sarraj, jawaban al-Susiy tentang taubat (Hamdan al-Susiy ketika ditanya tentang taubat,ia menjawab, “taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu menuju kepada yang dipuji oleh ilmu”), adalah jawaban mengenai taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), para pembangkang (muta’arridhin), para pencari (thalibin) dan para penuju (qashidin), mereka ini adalah orang-orang yang kadang bertaubat kadang lalai. Begitu pula dengan definisi taubat yang dibaut oleh al-taustari (bahwa taubat adalah tidak melakukan dosa) ditunjukan kepada kelompok ini.
b. Taubat ahli haqiqat atau kaum khawwas (Khusus).
Menurutal-sarraj adalah taubatnya orang-orang ahli haqiqat, yakni meraka yang tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka, dan mereka senantiasa mengigat (zikir) kepada-Nya. Hal ini juga seperti definisitaubat dibuat oleh Ruwaim ibn Ahmad, ia mengatakan, “taubat adalah dari taubat.” Juga Dzunun al-Mishari ketika ditanya tentang taubat ia mengatakan,” taubat orang awam dari dosa-dosa, sednag taubat kaum khawwas dari kelalaian”
c. Taubat ahli ma’rifat dan kelompok istimewa (khusus al-khuhus)
Menurut al-Sarraj, pandangan ahli ma’rifat, wajidin (orang-orang yang mabuk kepada Allah), dan khusus al-khusus tentangpengertian taubat, adalah seperti yang dijelaskan oleh Abu Husain al-Nuri (w. 295 H./ 908 M.), ketika ditanya tenang taubat, ia menjawab, “taubat adalah engkau bertaubat (berpaling) dari segala sesuatu selaian Allah.” Pernytaan ini kiranya sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh Dzunun al-Mishri (180-256 H./796-829 M). Bahwa dosa-dosanya yang dekat (muqarrabin) sama dengan kebaikan-kebaikannya orang-orang yang baik.
Maqamtaubat ini, menurut al-Sarraj, membutuhkan maqam wara. Taubat menyesal atas perbuatan-perbuatan terdahulu yang tercela dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, hanya bisa sempurna dengan bersikap wara’, yakni menghindari dan menjauhi hal-hal yang syubhat, sia-sia, dan tak ada manfaatnya dalam kacamata syari’ah. Seseorang yang sudah bertaubat berarti ia sudah membebaskan dirinya dari kotoran-kotoran rohani. Dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menahan dari perbuatan sia-sia.
C. Sabar
Sabar adalah suatu maqam yang amat penting dalam kehidupan spiritual seorang muslim. Secara literal (shabr) berarti menahan atau menanggung. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga adab dihadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjahui larangan-nya, serta tabah pula dalam menghadapi setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan. Seperti firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 127:
وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ
Artinya : ”Bersabarla(engkau Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah”.
Maqam shabr, menurut al-sarraj, membutuhkan maqam tawakkal. Shabr yang berarti menahan diri, tetap berakhlak mulia dalam menanggung musibah yang menimpanya dan selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjahui larangannya, serta tak pernah bersikap putus asa, hanya bisa dicapai dengan sempurna melalui sikap tawakkul, yakni memasrahkan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan mencukupkan diri dengan-Nya semata seorang yang sabar berarti ia harus benar benar percaya kepada Allah seingga segala urusannya dan apapun peristiwa yang menimpa dirinya ia serahkan dan pasrahkan kepada Allah secara penuh dan ikhlas.inilah relevansi kebutuhan maqam shabr terhadapmaqamtawakkul.
Menurutpandanganpara sufi, doronganhawanafsudirisendiri, yang setiapsaatdapatmenggoyahkaniman, inilah yang menjadimusuhterberatbagi orang-orang yang beriman. Hal67
Sabar merupakan salah satu kunci dari keberhasilan untuk mencapai atau meraih karunia Allah yang lebih besar, berhasil dalam mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta, dan mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, sebab tanpa adanya kesabaran keberhasilan tidak akan tercapai. Diriwayatkan bahwa Rasullah bersabda “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaannya tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, ia aka nmengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah ”(HR al-Tirmizi). Cobaan yang Allah berikan tidak selalu pedih dan pahit, akan tetapi cobaan sering hadir dalam kenikmatan, perasaan takut akan kekurangan dan hal lainya yang berkaitan dengan duniawi, merupakan cobaan Allah yang di rasa pahit oleh jiwa. Cobaan yang ada hanya dapat di hadapi dengan sabar. Cobaan yang Allah berikan kadang juga ada pada hal yang menyenangkan seperti harta kekayaan, pangkat serta jabatan.
Sabar terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Sabar billahi (dengan Allah)
Sabar billahi memiliki makna pertolongan terutama ketika mendapatkan cobaan. Dalam hal ini maksud dari kata pertolongan itu sendiri adalah bahwa kesabaran yang ada bukan atas hasil usahanya melainkan karena bantuan Allah. Rasa mahabbah kepada Allah saat menjalaankan perintah-Nya juga kandungan yang ada dalam sabra billahi, maksudnya yaitu bahwa kesabaran yang dilakukan muncul karena rasa cintak epada Allah dan bukan karena ketidak berdayaan.
b. Sabar lillahi (karena Allah) memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan sabra billahi, yaitu kesabaran yang ada adalah karena Allah
c. Ma’aAllahi (bersama Allah) yaitu sabar untuk mengikuti semua kehendak Allah
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut untuk saling meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat merupakan maqam pertama. Taubat adalah menyesal atas perbuatan-perbuatan terdahulu yang tercela dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, hanya bisa sempurna dengan bersikap wara’, yakni menghindari dan menjauhi hal-hal yang syubhat, sia-sia, dan tak ada manfaatnya dalam kacamata syari’ah. Seseorang yang sudah bertaubat berarti ia sudah membebaskan dirinya dari kotoran-kotoran rohani. Dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menahan dari perbuatan sia-sia.
Seperti sabar, Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Alllah kepada orang-orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Bahari, M. Z. (2005). Menembus Tirai Kesendirian-nya (Mengurai Maqamat dan ahwal dalam tradisi sufi. Jakarta: Prenada Media.
Suryadilaga, M. A. (2016). Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Kalimedia.
Tamrin, D. (2010). Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Lahut). Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI).
Al-Jauziyah, Ibnu al-qayyim. (2010). Sabar dan Syukur. Semarang: Pustaka Nun,
Sabtu, 25 Mei 2019
Makalah taubat dan sabar
Makalah Zuhud dan faqir
AKHLAK TASAWUF
Zuhud dan Faqir
Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH:
1. Afifah Nur Basyriyah 63020180017
2. Mariya Rosyidah 63020180003
3. Alfira Nabila 63020180027
4. Yasin Wahyu Nugroho 63020180059
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019/ 2020
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Masalah 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Zuhud dan Fakir 4
B. Dalil Zuhud dan Fakir 5
C. Contoh perilaku Zuhud dan Fakir 7
BAB III PENUTUP 9
Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan dalil. Para sufi mengatakan hal itu seseuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagi pengalaman tasawuf ini juga merupakkan karunia dari tuhan setalah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.
Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namaun kali ini saya akana memaparkan mengenai Zuhud, dan Faqr.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi Faqir dan Zuhud ?
2. Apa saja dalil yang mendasari tentang Faqir dan Zuhud?
3. Bagaimana contoh sikap dan perilaku Faqir dan Zuhud ?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian Faqir dan Zuhud
2. Mengetahui dalil yang mendasari tentang Faqir dan Zuhud
3. Mengetahui bagaimana contoh sikap dan perilaku Faqir dan Zuhud
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Faqir dan Zuhud
Zuhud merupakan maqam yang terpenting bagi setiap calon sufi. Zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi seorang sufi seorang calon harus terlebih dahulu menjadi seorang zuhud. Zuhud secara etimologi adalah kemampuan hati menahan keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki. Menurut Al Ghazali zuhud sebagai ungkapan atas ketidaksukaan pada segala hal termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal didunia dan secara otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat angan angan pada dunia ini, hal ini disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinggkan nafsu tujuannya hanyalah untuk bersenang senang atas dunia tersebut, sehingga, ketika ia telah membenci dunia, maka ia tidak akan menginginkannya. Zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan
1. Al Mubtadiin (tingkat pemula) yaitu orang yang kosong tangan dan hatinya dari harta kepemilikan.
2. Al Mutahaqqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat pada Allah
3. Golongan yang mengetahui dan menyakini bahwa jikalau dunia diberikan pada mereka dengan status kepemilikan yang halal, dijanjikan pula ketiadaan hisab di akhirat atas status kepemilikan tersebut
Orang yang zuhud memiliki 3 ciri yaitu :
1. Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak merasa susah atas ketiadaan harta tersebut
2. Tidak ada beda baginya antara orang yang mencela dan memuji
3. Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi dalam hatinya adalah manisnya taat.
fakir adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak minta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng perubahan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi, sebab sikap mental ini akan menghindarkan diri dari sifat keserakahan. Dengan demikian pada prinsipnya sikap fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja zuhud lebih keras meghadapi sifat keduniawian, sedangkan fakir hanya pendisiplinan dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Fakir dapat berarti kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menalani kehidupan di dunia, sikap fakir penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan memungkinkan manusia untuk berbuat jahat.
Menurut sufi pengertian fakir menunjukan kepada seseorang yang telah mencapai spiritual menurut Al Ghazali fakir di bagi dalam dua macam yaitu sebagai berikut.
1. Fakir secara umum yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menaga eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba dan tuhanya. Sikap seperti ini hukumnya waib karena menjadi sebagian buah dari ma’rifat.
2. Fakir Muqayyad yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia seperti uang yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan manusia yang dapat dipenuhi selain Allah.
Jika maqam fakir telah sampai pada puncaknya yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saa selain Allah maka maqam itu merupakan perwujudan penyucian hati secara keseluruhan
B. Dalil yang mendasari tentang Faqir dan Zuhud
Sebagian ulama menyebutkan bahwa zuhud telah Allah jelaskan dalam al-Quran melalui ayat-Nya,
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya :“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan bersedih terhadap apa yang tidak kamu dapatkan, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23)”
Zuhud adalah amal hati, sehingga yang bisa menilai hanya Allah. Karena itu, kita tidak bisa menilai status seseorang itu zuhud ataukah tidak zuhud, hanya semata dengan melihat penampilan luar. Kekayaan dan harta yang dimiliki, bukan standar zuhud. Orang bisa menjadi zuhud, sekalipun Allah memberikan banyak kekayaan kepadanya. Juga terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi sebagai berikut
وبتغ فيمااتاك الله الدار الاخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا واحسن كما احسن الله اليكولاتبغ الفسد في الرض ان الله لايحب المفسدين
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa betapa luhurnya ajaran Islam dibanding dengan ajaran atau falsafah lain yang ada di muka bumi ini. Islam menganjurkan adanya keseimbangan hidup, yaitu dengan menjadikan dunia ini sebagai ladang dan alat untuk mencari kebahagiaan akhirat. Bukan menjadikannya sebagai tujuan. Zuhud dengan sikap meninggalkan dunia secara berlebihan sama tercelanya dengan mereka yang mengejar kehidupan dunia tanpa mempedulikan urusan akhirat.
Begitu pula pengertian faqir dalam tasawuf ia di artikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautabn semata-matapada tuhan. Ayat al quran yang diaikan rujukan yaitu Al Fathir ayat 15.
يا ايهناس انتم الفقراء الى الله ۗ والله هو الغني الحميد
Artinya ”Hai manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.”
Maqam faqir ini sangat mulia, rasulullah sendiri lebih meilih hidup fakir daripada hidup bergelimang harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta adn kehiupan mewah sebagaimana nabi sulaiman. Faqir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya sehingga tidak meminta sesuatu yg lain. Sikap mental fakir merupakan bentengan pertahanan yang kuat menghadapi pengaruh kehidupan materi.
Karena pada dasarnya sikap faqir menghindarkan seseorang dari sifat sombong, serakah dan kuur nikmat Allah. Selain itu sikap faqir ini juga merupakan rentetan dari zuhud an dapat memunculkan sifat wara’ yaitu sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas.
C. Contoh sikap dan perilaku Faqir dan Zuhud
Contoh perilaku Zuhud
a) Pak Ahmad terkenal sebagai orang kaya di kampungnya. Ia mempunyai bermacam macam usaha yang sukses. Pak Ahmad mempunyai tiga anak. Anak pertama perempuan. Saat ini duduk di bangku MA kelas X, bernama Aulia. Anak kedua laki-laki, saat ini duduk di bangku MTs kelas VIII, bernama Fadila. Anak ketiga laki-laki, saat ini duduk di bangku MI kelas V, Hamdi. Ketiga anak Pak Ahmad belajar di sekolah swasta, sebuah yayasan Islam, yang tidak jauh dari rumah mereka. Meskipun orang tua mereka kaya raya dan mempunyai beberapa buah mobil, mereka pergi ke sekolah selalu naik sepeda. Pertimbangannya, jarak antara sekolah dan rumah sangat dekat. Selain itu, mereka memang dididik oleh Pak Ahmad untuk hidup sederhana dan tidak boleh menyombongkan harta dunia yang dimilikinya. Semua harta tersebut adalah milik Allah. Selain kaya raya, Pak Ahmad juga terkenal sebagai orang yang ringan tangan membantu warga di kampungnya yang mengalami kesusahan. Pak Ahmad senang mendermakan hartanya untuk kaum miskin. Sifat-sifat itulah yang ditanamkan pada ketiga anaknya. Itulah bentuk sifat zuhud Pak Ahmad.
b) Perilaku zuhud juga dapat dilihat pada kehid upan Usman bin Affan. Usman adalah seorang sahabat yang mencintai Al-Qur’an. Siang hari Usman berpuasa dan pada malam hari waktunya dihabiskan untuk menunaikan shalat. Kezuhudan Usman juga dapat dilihat dari kebiasaannya memberi makanan yang lezat kepada fakir miskin dan kaum muslimin. Sementara itu, Usman hanya mengonsumsi cuka dan minyak. Padahal kita tahu bahwa Usman adalah saudagar yang kaya raya. Usman dapat hidup bermewah-mewahan. Akan tetapi, beliau lebih memilih hidup dalam kezuhudan.
c) Perilaku zuhud juga dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap tidak menganggap penting dunia dan mementingkan akhirat merupakan wujud perilaku zuhud. Perilaku zuhud yang dijalankan bukan alasan untuk bermalas-malasan belajar dan menuntut ilmu. Perilaku zuhud hendaknya mendorongmu belajar lebih giat karena ilmu dapat mengantarkan kita menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Contoh perilaku Faqir
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagian gajala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia singkirkan, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti istilah daerah “nyingkor kandonyan”, menjauhi dunia hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi kepada tuhan. Dan pola hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr, tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
HAG. Tamami, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: PUSTAKA SETIA
Seils, A. Michael, 2004, Terbakar Cinta Tuhan, Bandung: Mizan
Siswa, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri: Lirboyo Press
Smith, Margaret, 2001,Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya: Risalah Gusti
Makalah SEJARAH TASAWUF
SEJARAH TASAWUF
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I
Disusun oleh:
1. Zidny Mufidah (63020180081)
2. Siti Nur Qolifah (63020180083)
3. Listiana Vala Wardani (63020180098)
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kemurahan-Nya makalah yang berjudul “Sejarah Tasawuf” ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.
Dalam hal ini kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan menerima segala masukan dan saran yang bersifat konstruktif untuk lebih mempertajam dan meluaskan pandangan sehingga makalah ini dapat memberi persfektif yang benar dan bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat.
Salatiga, 3 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Tasawuf pada Masa Klasik 2
1. Tasawuf Masa Nabi Muhammad SAW. 2
2. Tasawuf Masa Tabiin 3
B. Sejarah Tasawuf pada Abad Pertengahan 3
C. Sejarah Tasawuf pada Abad Modern 5
D. Sejarah Tasawuf pada Abad Kontemporer 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
DAFTAR PUSTAKA 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak tasawuf selama ini telah menjadi pemandu dalam perjalanan peradaban islam di dunia. maka tak heran jika misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau salah satunya yaitu dengan meyempurnakan akhlak manusia.
Perkembangan ilmu tasawuf tidak lepas dari sejarah perjalanan tasawuf itu sendiri. Dimulai dari masa klasik sampai era kontemporer, tasawuf telah mengalami perkembangan dan penurunan. Pemahaman manusia tentang ilmu tasawuf mulai dari masa klasik perlu dipelajari, pemikiran-pemikiran para tokoh islam yang berpengaruh oleh kehidupan muslim sampai saat ini pun mesti diketahui. Akan tetapi perkembangan zaman dan modernisasi menggeser pola pikir manusia menjadi keduniawian, dan melupakan ke-Tuhanan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah tasawuf pada masa klasik?
2. Bagaimana sejarah tasawuf pada abad pertengahan?
3. Bagaimana sejarah tasawuf pada abad modern?
4. Bagaimana sejarah tasawuf pada era kontemporer?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah tasawuf pada masa klasik.
2. Mengetahui sejarah tasawuf pada abad pertengahan.
3. Mengetahui sejarah tasawuf pada abad modern.
4. Mengetahui sejarah tasawuf pada era kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tasawuf pada Masa Klasik
Perkembangan tasawuf pada masa klasik itu berkisar pada masa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan Tabi’in.
1. Tasawuf masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa ini praktek tasawuf sudah dilakukan namun, belum menjadi istilah resmi hanya ada istilah zuhud. Kaum zuhud ini menjadikan Nabi Muhammad sebagai mursyid tertinggi dalam Islam dan mereka beranggapan beliau adalah manusia yang sempurna. Berasal dari tahannuts dan khalwat kehidupan kerohanian beliau yang dilakukan semasa beliau berada didalam Gua Hira. Gambaran perilaku beliau dijadikan sumber bagi para ahli sufi dalam pengalaman ajaran tasawuf. Beliau ber’uzlah dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam merenungi alam dan beliau telah tenggelam dalam kebesaran Allah SWT. Aktifitas uzlah inilah yang banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa tidak bisa dihilangkan kecuali dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya,dan cinta terhadap dunia, merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati nurani, meskipun secara lahiriyah manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh. Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Asal mula ajaran tasawuf adalah tekun beribadah, dan mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT, berpaling dari hiasan duniawi dan keindahannya. Zyhud dari segala sesuatu yang dikejar manusia, yaitu berupa kelezatan dunia dan kemegahan tahta. Sejarah menyatakan, ketika Quraisy pada keemasannya justru Nabi Muhammad SAW lebih suka menyendiri ke Gua Hira’.
2. Tasawuf pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Para sahabat mengembangkan tasawuf ini dengan tahapan zuhud. Yaitu dengan hidup sederhana dan dan selalu dekat dengan Allah SWT. Cara ini mencontoh nabi Muhammad SAW. Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama antara lain khulafaur Rasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.
Ulama-ulama sufi dari kalangan tabiin adalah para murid dari ulama-ulama sufi kalangan sahabat. Para tabiin juga menggunakan tahapan zuhud. Tokoh-tokoh ulama tabiin antara lainHasan Al-Bashry, Rabiah Al-Adawiyah, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsaury, dll.
B. Sejarah Tasawuf pada Abad Pertengahan
Pada abad kedua hijriyah kaum muslimin lebih condong menggauli dunia. masa itu pintupintu kemenangan dibuka, harta dan tahta begitu mudah didapat. Ketika pemerintahan Islam dipegang Yazid bin Muawiyah, umat islam terlanda wabah hedonisme yang akut. Hubbuddunya (cinta dunia) yang diawali dari kalangan istana dan menjalar sampai masyarakat kelas bawah.
Atas karunia Allah SWT, sebagian kaum muslimin menyadari bahwa kemewahan membuat mereka terlena. Maka, dikhususkan orang orang yang tekun ibadah dengan nama sufiyah dan muthasawiyah. Ini menunjuukan bahwa munculnya tasawuf dan sufiyah adalah arus balik dari timbulnya hubbuddunya pada abad kedua hijriyah. Disinilah munculnya istilah tasawuf bagi mereka yang tekun beribadah dan isilah ini yang membedakan dengan mereka dari kebanyakan manusia yang dilalaikan oleh dunia yang fana ini.
Pada abad ketiga ini tasawuf berkembang dengan cepat, para sufi mengganti tahapan zuhud dengan tahapan tasawuf. Hal ini ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, dengan cara lebih memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan jiwa dan tingkah laku. Tokoh-tokoh sufi pada masa ini antara lain: Sulaiman Ad-Daraany, Ahmad bin Al- Hawaary, dll.
Pada abad keempat, kelima dan keenam hijriah, internalisasi tasawuf sudah berjalan dengan baik dan istilah tasawuf sudah mulai dikenal. Tokoh-tokoh tasawuf yang dikenal adalah Az-Zuhrawardi, Al-Qusyairi, Al-Ghazali, Al-Hallaj, Dzunnun Al-Misri, Ibnu Arabi dan Umar Al-Farid. Pada abad ini, tasawuf dibagi menjadi tasawuf sunni dan falsafi. Era ini disusul dengan era lahirnya tarekat untuk menjembatani agar teori tasawuf yang rumit bisa dinikmati oleh orang awam.
Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyah, suasana kemelut antara ulama syariat dengan ulama tasawuf memburuk, karena dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran Al-Huluul, widatul wujud, dan Widatul Adyan oleh kebanyakan ulama tasawuf. Para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawi.
Pada abad ketujuh perkembangan tasawuf menurun dukarenakan semangat masyarakat untuk mempelajari tasawuf menurun, hal ini disebabkan oleh:
a. Semakin gencarnya ulama syariat memerangi ahli Tasawuf, yang diiringi dengan serangan syiah yang menekuni ilmu kalam dan fikih.
b. Adanya tekad penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam karena dianggap menjadi sumber perpecahan umat islam. Ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini antara lain: Umar abdul Faridh, Ibnu Sabi’in, jalaluddin Al-Rummy, dll.
Perkembangan tasawuf pada abad ini tidak terdengar perkembangannya dan pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak pengarang kaum sufi yang mengemukakan pikiran tentang ilmu tasawuf, namun kurang mendapatkan perhatian yang serius dari umat islam. Sehinga nasib ajaran tasawuf hampir sama dengan abad ketujuh.
Dalam beberapa abad ini, ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam, artinya nasib lebih buruk lagi dari abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah. Faktor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf diantara lain : ahli tasawuf sudah hilang kepercayaan di kalangan masyarakat islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani yang menguasai negeri Islam.
C. Sejarah Tasawuf pada Abad Modern
Tasawuf di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Kepekaan sosial, lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf di era modern itu tidak sekedar pemenuhan spiritual, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil bagi yang ada di bumi ini.
Menurut Bagir tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi duniawi. Banyak orang yang secara normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tampak ada. Dengan demikian lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan yang lebih baik.
Munculnya Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern) dalam dunia Islam tidak luput dari adanya kebangkitan agama yang menolak terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme. Pemikiran dan Karakteristik Neo-Sufisme (Tasawuf Modern) modernisme telah dinilai gagal dalam mengantarkan kehidupan manusia lebih baik, yang penuh dengan kepedulian dan menebarkan kasih sayang, atau bahkan efek dari modernisme tidak lagi memanusiakan manusia sebagaimana layaknya manusia adanya, justru modernisme menjauhkan kehidupan yang bermakna bagi manusia itu sendiri, maka banyak orang yang kembali pada agama sebagai institusi religiusitas. Era modern harus merapat pada agama yang mampu menjamin kehidupan penuh makna.
D. Sejarah Tasawuf pada Abad Kontemporer
Tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembahasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Dan ini merupakan pegangan hidup manusia yang paling ampuh, sehingga tidak terombang-ambingkan oleh badai kehidupan ini. Ia menjadi penuntun hidup bermoral, sehingga dapat menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi ini.
Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa lalu. Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman modern ini, maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
Masyarakat kontemporer ditandai oleh lima ciri pokok, yakni:
1. Berkembangnya massa culture.
2. Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju perubahan masa depan.
3. Tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional.
4. Tumbuhnya sikap hidup yang materialistik.
5. Meningkatnya laju urbanisasi. (Atha' Muzhar, 1993).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan taswuf dibagi menjadi empat periode yaitu pada masa klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer. Pada masa Nabi Muhammad SAW praktik tasawuf sudah dilakukan namun, belum menjadi istilah resmi hanya ada istilah zuhud. Perkembangan tasawuf masa sahabat nabi SAW dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin,dimana tetap tidak menghilangkan semua perilaku Nabi Muhammad sebagai teladan, meskipun Nabi Muhammad sudah wafat. Juga tetap melakukan sesuatu yang bersifat mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kesederhanaannya seperti wara’, tawadhu, zuhudnya Nabi Muhammad SAW di tunjukan semata-mata hanya untuk Allah.
Pada abad ke-1 dan ke-2 perkembangan tasawuf dilakukan oleh para sahabat dan tabiin melalui tahapan zuhud. Pada abad ke-3 dan ke-4 perkembangan tasawuf dilakukan tahapan tasawuf, tetapi pada abad ke-4 perkembangan tasawuf lebih pesat. Pada abad ke-5 tasawuf mulai rawan dikarenakan ada para ulama yang ingin mengembalikan kepemimpinan pada keluarga Ali bin Abi Thalib. Pada abad ke-6, ke-7, dan ke-8, perkembangan tasawuf mengalami penurunan drastis. Pada abad ke-9, ke-10,dan seterusnya, perkembangan tasawuf sunni dari Islam.
Tasawuf pada masa sekarang (kontemporer) mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena kondisi dan situasinya lebih kompleks, sehingga refleksinya bisa berbeda. Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman sekarang ini, maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini dapat tersusun menjadi lebih baik lagi sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan umumnya bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2019. TASAWUF SOSIAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH: Tasawuf Kajen Menghasilkan Solusi, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo
Fathurahman, Syekh Akbar Muhammad. 2016. JALAN MENUJU TUHAN. Jakarta: PT Grasindo
Sholihin, Muhammad dan Rosyid, Anwar. 2004. Akhlak Tasawuf. Bandung: PT Nuwansa
https://histori.id/pemikiran-dan-karakteristik-neo-sufisme-tasawuf-modern/
http://mahsun38.blogspot.com/2011/05/makalah-tasawuf-pada-zaman-kontemporer
Makalah MA’RIFAT DAN RIDHA
MA’RIFAT DAN RIDHA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Disusun oleh :
Muhammad Adi Adrian(63020160033)
Linda Kusumaningtyas(63020180057)
Juli Suciati(63020180119)
Febri Nur Hidayati (63020180202)
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Pujisyukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat rahmat,taufik serta hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ma’rifat dan Ridha” dengan lancar dan tepat waktu tanpa halangan suatu apapun. Sholawat serta salam marilah kita sanjungkan kepada nabi besar kita Nabi Muhammad Saw yang telah mengajarkan islam dari zaman kegelapan hingga zaman terang benerang ini.
Terimakasih kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada kami dan tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyusun makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan baik dari segi kata maupun tata bahasanya. Karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi bagi pembaca.
Salatiga, 02 Mei 2019
Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR2
PENDAHULUAN4
A.Latar Belakang4
B. Rumusan Masalah4
C. Tujuan4
PEMBAHASAN5
A.Definisi Ma’rifat5
B.Definisi Ridha8
C.Dalil ma’rifat dan ridha9
D. Contoh sikap dan perilaku ma’rifat dan ridha10
PENUTUP12
DAFTAR PUSTAKA14
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah, barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.
B. Rumusan Masalah
1.Apa definisi dari Ma’rifat ?
2.Apa definisi dari Ridha?
3.Bagaimana dalil ma’rifat dan ridha?
4.Bagaimana contoh sikap dan perilaku ma’rifat dan ridha?
C. Tujuan
1.Menjelaskan definisi ma’rifat
2.Menjelaskan definisi ridha
3.Menjelaskan dalil ma’rifat dan ridha.
4.Menjelaskan contoh sikap dan perilaku ma’rifat dan ridha.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Ma’rifat
1.Pengertian ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata arafa, yu’rifu, irfan berarti mengetahui, mengenal, atau pengetahuan ilahi . Menurut terminologi ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau dapat diartikan sebagai pengetahuan atau pengamalan secara langsung atas realitas mutlak tuhan.
Ma’rifat menurut Tokoh Tasawuf
a.Ma’rifat menurut Zu al-Nun al-Misri
Dalam tasawuf Zu al-Nun dikenal sebagai bapak paham ma’rifat karena ia adalah pelopor paham ma’rifat dan orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konseptual. Ia berhasil memperkenalkan corak baru tentang ma’rifat yaitu membedakan antara ma’rifat sufiah dengan ma’rifat aqliyah, ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi dan yang kedua menggunakan pendekatan akal yang digunakan para teolog.
b.Ma’rifat menurut Jalal al-Din ar-Rumi
Secara umum, praktik sufi dimulai dengan pelaksanaan syari’at yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Rumi menekankan pada peahaman yang lebih mendalam terhadap syari’at dan menambahkan amalan, yang mendasar bagi rumi adalah mengingat tuhan sebagaimana banyak dianjurkan oleh al-Qur’an maupun al-Sunnah.
c.Ma’rifat menurut Ibn Taymiyyah
Ibn Taymiyyah memiliki cara pandang yang berbeda dengan tokoh sufi klasik. Ibn Taymiyyah dikenal sebagai tokoh pembaru pemikiran islam, tasawuf menurut pandangannya merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk menunjukan totalitas ketaatan serta semangat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun juga menurutnya didalam ajaran tasawuf tidak menolak tasawuf, tetapi tidak juga memandangnya sebagai satu-satunya cara ataupun cara terbaik guna menjalankan agama secara besungguh-sungguh.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zahiri atau eksoteris tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris atau batiniyyah. Pemahaman ini berwujud penghayatan dan pengalaman kejiwaan.
2.Cara Mencapai Ma’rifat
Langkah pertama untuk mengenal diri sendiri ialah mengetahui terlebih dahulu bahwa diri tersusun dari bentuk lahir yang disebut badan dan batin yang disebut qalb. Qalb bukan berarti segumpal daging yang berada disebelah kiri badan, tetapi ia adalah ruh yang bersifat halus dan gaib yang turun ke dunia untuk melakukan tugas dan kelak akan kembali ketempat asalnya.
Ma’rifat bukan datang dengan sendirinya melainkan harus melalui sebuah proses yang panjang yakni dengan melakukan proses melatih diri dalam hidup kerohanian dan memerangi hawa nafsu. Oleh karena itu, salah satu cara efektif untuk memeranginya adalah dengan cara bersungguh-sungguh memerangi ego kemanusiaan, menjahui hal-hal yang dianggap manusiawi menuju yang ilahi, membuang jauh-jauh segala bentuk ketergantungan terhadap makhluk, dan membenamkan diri dalam taqarrub ilallah.
Kesempurnaan sufi baru tercapai setelah ada keterpaduan antara aspek syari’at dan tarekat. Syari’at untuk mencapai derajat, sedangkan tarekat berguna unrtuk mencapai kedekatan kepada Allah SWT. Dari situlah ma’rifat akan dicapai oleh seseorang. Syari’at merupakan aspek zahir suatu ma’rifat dan tarekat sebagai aspek batin. Sehingga seseorang bertawakal selalu terikat dengan syari’at sambil memerangi hawa nafsu egoisme diri dan syaitan.
Meskipun begitu, perlu disadari bahwa pelimpahan cahaya ilahi ke dalam hati seorang hamba tidak bisa diusahakan sepenuhnya oleh seseorang. Tugas manusia hanyalah mempersiapkkan dengan membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak tercela. Pada tahap akhir semua tergantung pada kemurahan AllahSWT.
3.Jenjang-Jenjang Ma’rifat
Zu al-Nun al-Misri membagi pengetahuan tentang Allah menjadi 3 macam yaitu :
a.Ma’rifat al-Tauhid sebagai ma’rifatnya orang awam, yaitu ma’rifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara syahadat, tanpa disertai argumentasi.
b.Ma’rifat al-Burhan wa al-Istidlal yang merupakan ma’rifatnya mutakalimin dan filsuf , yaitu ma’rifat tentang Allah melalui pemikran dan pembuktian akal. Golongan ini memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti, memeriksa, dan membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya.
c.Ma’ rifat Hakiki merupaka marifat waliyullah, yaitu marifat tentang Allah melalui sifat dan ke Esaan Nya, diperoleh melalui hati nurani. Marifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha, dan pembuktian, melainkan anugerah dari Allah kepada orang-orang sufi yang khlas dalam beribadah dan mencintai Allah.
Imam al-Gazali juga membagi marifat menjadi 3 macam sebagaiman Zu al-Nun dan memberikan contoh sebagai berikut : seorang awam, seandainya dia mendapat pemberitahuan dari yang dipercayainya bahwa di dalam rumah ada seseorang, maka dia akan membenarkan dengan tidak sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk menyelidiki. Sedangkan seorang teolog atau filsuf dalam hal ini, bagaikan seorang yang mendengar omongan seseorang di dalam rumah tersebut, lalu dijadikan bukti bahwa ada orang di dalam rumah itu. Sementara seorang sufi seperti halnya seseorang yang masuk ke dalam rumah tersebut dan melihat orang yang di dalamnya secara langsung, penyaksian inilah pengetahuan yang hakiki.
4.Macam-macam ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat Laduniah.
a.Ma’rifat Ta’limiyat
Ma’rifat Ta’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh alGhazali25, dapat di definisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. Ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat Ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya salik (Muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan proses perjalanan ruhani (Suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tabi’in, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
b.Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah. Menurut kalangan sufi menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (Wasilah), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
B.Definisi Ridha
1.Ridha (Al-Ridha)
Kata ridha berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima. Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Ridha adalah kedudukan spiritual yang mulia dan dapat menjadikan hati seorang hamba merasa tenang di bawah kebijakan hukum Allah Azza wa jalla. Al Qannad pernah ditanya tentang ridha, ia menjawab: Ridha adalah tenangnya hati atas berlakunya takdir. Dzunnun al-Misri pun pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab: Ridha adalah senangnya hati atas takdir yang berlaku padanya. Ibnu Atha berkata: Ridha adalah melihatnya hati nurani pada pilihan Allah yang lebih dahulu telah ditetapkan untuk hamba-Nya, agar ia tahu bahwa Allah memilihkannya yang terbaik untuknya, sehingga ia ridha dan tidak jengkel dengan-Nya.
2. Tingkatan ridha
Ada tiga darjjat ridha yang disimpulkan oleh Abdullah al-Ansari al-Harawi dalam Kitab Manazil Sairin, yaitu :
a.Ridha secara umum, iaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selainNya. Ridha kepada Allah sebagai Rabb ertinya tidak mengambil penolong selain Allah yang diserahkan kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi tumpuan keperluannya;
b.Ridha terhadap Allah. Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah meliputi ridha terhadap qadha dan qadarNya yang merupakan perjalanan orang-orang khawwas;
c.Ridha dengan ridha Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk ridha atau marah lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mahu melakukannya sekalipun akan diceburkan ke dalam nyalaan api.
C.Dalil ma’rifat dan ridha
1.Ma’rifat
a.Al qur’an
surat Luqman ayat 20 :
وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَة
Artinya: Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.
b.Hadist
Hadis Qudsi :
بَنَيْت فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى)
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam matahati (fuad) itu ada penutupmatahati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)
2.Ridha
a.Al quran
surat At-Taubahayat 96:
يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ
Artinya :
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”
b.Hadist
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجتَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Artinya :
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadi kan sebagai atap mu, dan carilah Tuhan lain selaindiri-Ku (Allah)”.
D. Contoh sikap dan perilaku ma’rifat dan ridha
1. Contoh perilaku ma'rifat
Kita bisa mengambil contoh, yang sering terjadi di Indonesia, yaitu banjir. Banjir sering terjadi ketika musim hujan. Banyak masyarakat menjadi korban, baik meninggal maupun sakit. Masyarakat kehilangan kegiatan pekerjaan atau tidak sekolah karena terhalang banjir. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi banjir, tetapi masih saja banjir.
Dalam QS Al-baqarah ayat 255 menjelaskan bahwa Allah swt yang memiliki apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi. Bencana ini terjadi akibat perbuatan manusia yang menyalahgunakan amanah yang diberikan oleh Allah swt untuk menggunakan dan menjaga alam bagi kesejahteraan manusia.
Kini, kita kembali kepada Allah swt, bertobat, memohon pertolongan dan pastikan diri kita tidak mengulangi perbuatan itu kembali. Setelah kita yakin kepada Allah swt mulailah membiasakan membuang smapah pada tempatnya.
2. Contoh perilaku ridha
a.Bersabar dan menerima dengan lapang dada apabila mendapatkan cobaan dari Allah SWT.
b.Mensyukuri semua nikmat yang dianugerahkan, besar kecilnya nikmat atau rezeki tersebut dianggap sebagai ukuran yang terbaik menurut Allah SWT.
c.Ikhlas saat bersedekah atau berinfaq. Keikhlasan ini adalah wujud nyata keridhaan seseorang.
d.Tidak memelihara perasaan iri atau bahkan dengki pada kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ma’rifat berasal dari kata arafa, yu’rifu, irfan berarti mengetahui, mengenal, atau pengetahuan ilahi. Menurut terminologi ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau dapat diartikan sebagai pengetahuan atau pengamalan secara langsung atas realitas mutlak tuhan.
Kata ridha berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima. Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Dalil-dalil ma’rifat
a.al qur’an
surat Luqman ayat 20 :
Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.
b.hadist
Hadis Qudsi :
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam matahati (fuad) itu ada penutupmatahati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)
Dalil-dalil ridha
a.Al quran
surat At-Taubahayat 96:
Artinya: Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”
b.Hadist
Artinya :“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadi kan sebagai atap mu, dan carilah Tuhan lain selaindiri-Ku (Allah)”.
Contoh perilaku Ma’rifat : yang sering terjadi di Indonesia, yaitu banjir. Banjir sering terjadi ketika musim hujan. Banyak masyarakat menjadi korban, baik meninggal maupun sakit. Masyarakat kehilangan kegiatan pekerjaan atau tidak sekolah karena terhalang banjir. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi banjir, tetapi masih saja banjir.
Contoh perilaku Ridha : Bersabar dan menerima dengan lapang dada apabila mendapatkan cobaan dari Allah SWT dan ikhlas saat bersedekah atau berinfaq, Keikhlasan ini adalah wujud nyata keridhaan seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers.
Al-Ghazali, Imam. 1984. Ihya’ Ulum Ad-Din. Semarang: Terj. Rus’an, Jilid IV, Wicaksana.
Al-Taftazani, Abu al Wafa al-Ghanimi. 1997. Sufi Dari Zaman Ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ Ustmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.
Makalah TASAWUF FALSAFI
TASAWUF FALSAFI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu: Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Di susun oleh:
1. Umi kholifah 63020160071
2. Tri sa arudin 63020180078
3. Dwi ayu saputri 63020180113
4. Naili rizka rahmasari 63020180153
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Assallamualaikum warahmattullahi wabarokatuh....
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanu wa ta’ala. Karena Alhamdulillah atas rahmat dan karunia serta ridhonya penyusun bisa menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Sallallahu ‘alahi wa sallam, yang menuntun umatnya dari zaman kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi menyumbangkan ide dan pemikiran mereka demi terwujudnya makalah ini. Makalah “Tasawuf Falsafi” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dalam penulisan makalah ini penyusun masih menyadari masih banyak kekurangan. Namun, dengan isi yang sederhana ini, besar harapan kami semoga makalah ini dapat memberi manfaat sekedar menyikap tabir pengetahuan dan menjenguk isinya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh...
Salatiga, 24 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I iv
PENDAHULUAN iv
A. Latar belakang iv
B. Rumusan masalah iv
C. Tujuan iv
BAB II 1
PEMBAHASAN 1
I. Definisi Tasawuf Falsafi 1
II. Tokoh dan Teori Tasawuf Falsafi 1
A. Ibn ‘Arabi 1
B. Al-Jilli 3
C. Ibn Sabi’in 5
BAB II 7
PENUTUP 7
I. Kesimpulan 7
DAFTAR PUSTAKA 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Setiap manusia mempunyai konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang leih tinggi ukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari kesatuan wujud. Tasawuf juga bisa dikatakan sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedatangan dengan Allah.
Tasawuf falsafi ini sangat penting dibahas karena dengan adanya pembahasan ini kita dapat mengetahui apa tasawuf falsafi, serta tokoh-tokohnya yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi memiliki empat objek utama yang menjadi para sufi filosof, yaitu latihan rohaniah, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keluarbiasaan, dan menciptakan ungkapan-ungkapan. Oleh karena itu makalah ini lebih menginformasikan tentang ajaran tasawuf falsafi.
B. Rumusan masalah
A. Apa pengertian dari tasawuf falsafi ?
B. Apa teori tentang tasawuf falsafi ?
C. Siapa tokoh dalam ajaran tasawuf falsafi?
C. Tujuan
A. Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi
B. Untuk mengetahui teori dari tasawuf falsafi
C. Untuk mengetahui siapa saja tokoh dalam tasawuf falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi Tasawuf Falsafi
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah Swt, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof yang Sufis. Konsep-konsep tasawaf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiranpemikiran filsafat.
Menurut Abdul Aziz Dahlan, tasawuf falsafî berarti suatu paham tasawuf yang ajarannya sudah bersifat lebih falsafî, karena meluas ke masalah metafisika, yakni proses bersatunya manusia dengan Tuhan dan sekaligus membahas manusia dan Tuhan. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaran dan konsepsinya disusun secara mendalam dengan bahasa-bahasa yang simbolik-filosofis. Sehingga tidak heran apabila mayoritas sufi yang mempunyai paham tasawuf ini mengalami sikap ekstasi (kemabukan spiritual) dan mengeluarkan statement yang terkesan tidak awam (syathahat). Seperti yang diucapkan Ibn ‘Arabi dengan slogan “Ana al-Haqq”. Tokoh-tokoh lainnya antara lain Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, al-Jilli dan sebagainya.
II. Tokoh dan Teori Tasawuf Falsafi
A. Ibn ‘Arabi
Nama lengkap dari Ibnu Arabi yaitu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath tha’I Al Haitami. Beliau dilahirkan di Murcia, daerah Andalusia tenggara, Spanyol. Pada tahun 560 H. Ia tinggal di Hijaz dan wafat di sana, pada tahun 638 H. karya Ibnu ‘Arabi yang paling fenomenal adalah Al Futuhat Al Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 H
Ajaran pertama dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an. Sebagai berikut:
سبحان من اظهر لاشياء و هو عينها
Artinya : “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.
Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.
B. Al-Jilli
Nama lengkap Al Jilli adalah Abdul Karim bin Ibrahin Al- Jilli yang lahir tahun 1365 M dan wafat tahun 1417 M. Baliau lahir di Jilan propinsi di selatan Kaspi. Tempat lahirnya Jilli (Gilan) yang kemudian menjadi nama dari Al Jilli. Beliau adalah sufi yang terkenal di Bagdad. Ia pernah berguru pada tokoh tarekat Qadariyah yaitu Abdul Qadir Al Jailani, seorang sufi dari India.
Adapun ajaran-ajaran yang telah tasawuf falsafi menurut Al-Jilli, antara lain :
1. Insan Kamil
Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli adalah insan kamil yang berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan hadist :
خلق الله ادم على صورة الرحمن
Artinya : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman”.
Hadits lain :
خلق الله ادم على صورته
Artinya : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”.
Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 72
انا عرضنا الامانة على السموت والارض والجبال فابين ان يحملنها واشفقن منها وحملها الانسان انه كان ظلوما جهولا. الاحزاب
yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q. S. Al-Ahzab : 72)
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.
2. Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:
1. Pertama : Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
2. Kedua: Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3. Ketiga: ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.
4. Keempat : Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
5. Kelima: Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.
6. Keenam: shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.
7. Ketujuh: qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa betapapun manusia sesempurna apapun dengan nama dan sifat Allah, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.
C. Ibn Sabi’in
Nama lengkap dari Ibnu Sab’in adalah Abdul Haq Ibnu Ibrahim Muhammad Ibnu Nashr. Beliau lahir tahun 614 H di Murcia. Ibnu Sabi’in adalah anak dari keluarga bangsawan, yang hidup berkecukupan. Namun beliau memilih untuk mengasingkan dari segala bentuk kemewahan tersebut. Beliau mempelajari ilmu-ilmu seperti Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Agama, Ilmu fiqih (fiqih pernikahan, fiqih muamalah jual beli),
1. Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri.
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”, dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.
2. Penolakan terhadap Logika Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.
Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka.
BAB II
PENUTUP
I. Kesimpulan
Tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiranpemikiran filsafat.Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaran dan konsepsinya disusun secara mendalam dengan bahasa-bahasa yang simbolik-filosofis. Dalam Tasawuf Falsafi yang berkembang ini dikenal beberapa tokoh besera teorinya antara lain:
Ibn ‘Arabi
Ajaran dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.
Al-Jilli
Ajaran tasawuf falsafi menurut Al-Jilli adalah Insan Kamil (manusia sempurna), yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi.
Ibn Sabi’in
Ajaran tasawuf falsafi menurut Ibn Sabi’in adalah (1) Kesatuan Mutlak, Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Ibn Sabi’in juga meenolakan terhadap Logika Aristotelian. Ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka
DAFTAR PUSTAKA
Anshor, M. A. (2004). Tasawuf Falfafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Anshori, M. A. (2014). Kontenstasi Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi di Nusantara. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam , 3.
Anwar, R. (2010). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Iman, M. S. (2015). Peranan Tasawuf Falsafi Dalam Metodologi Pendidikan Islam. TARBIYATUNA, Vol. 6 No. 2 , 2.
M Sholihin, R. A. (2002). Kampus Tasawuf. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Toriquddin, M. (2008). Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN Malang Press.
Makalah TOKOH-TOKOH TASAWUF MASA KLASIK, ABAD PERTENGAHAN, MODERN, DAN KONTEMPORER
TOKOH-TOKOH TASAWUF MASA KLASIK, ABAD PERTENGAHAN, MODERN, DAN KONTEMPORER
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I
Disusun oleh:
Sri Harsabtuti Radarani 63020180010
Friska Adita Nur Arifah 63020180093
Asma’ Zakiyah 63020180117
Laili Faizah 63020180121
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penyusunan 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik 2
1. Ibn Athaillah as Sakandary 2
2. Junaid al Baghdadi 2
3. Al Muhasibi 4
4. Abdul Qadir al Jilani 4
5. Al- Hallaj 5
6. Jalaludin al Rumi 6
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Abad Pertengahan 6
1. Ma’ruf al-Karkhi 6
2. Abu al-Hasan Surri al-Saqti 7
3. Abu Sulaiman al-Darani 7
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Modern 8
1. Al-Qusyairi 8
2. Al-Ghazali 9
D. Tokoh-Tokoh Tasawuf Kontemporer 9
1. Ibn Arabi 9
2. Umar Ibn Al-Faridh 10
3. Ibnu Sabi’in 10
4. Ibn Masarrah 11
BAB III 12
PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensiatau aspek spiritual dalam islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebihmenekankan aspek rohani daripada aspek jasmani. Orang yang ahli dalam tasawufdisebut dengan seorang sufi. Seorang sufi selalu berusaha untuk dekat denganTuhan-Nya.
Tasawuf merupakan salah satu aspek asoterik islam, sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung antaraseorang hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsungdengan Tuhan. Sementara itu, intisarinya adalah kesadaran akan adanyakomunikasi rohaniah antara manusia dan Tuhan melalui kontemplasi. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akandibimbing oleh cahaya Ilahi. Di dalam ajaran tasawuf pun terdapat beberapa tokohyang terkemuka. Dimana tokoh-tokoh tersebut juga memiliki ajaran tasawufnyamasing-masing
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah tokohTasawuf pada periode Klasik ?
2. Siapakah tokoh Tasawuf terkemuka periodePertengahan ?
3. Siapakah tokoh Tasawuf terkemuka Periode Modern ?
4. Siapakah tokoh Tasawuf terkemuka periodeKontemporer?
C. Tujuan Penyusunan
1. UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodeKlasik
2. UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodePertengahan
3. UntukmengetahuitokohTasawuf pada periode Modern
4. UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodeKontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik
Masa ini yaitu pada masa abad pertama dan kedua hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai masa tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai masa kezuhudan. Tasawuf pada masa ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan dan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini yaitu:
1. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w.1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalammadzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al-Syadzili. Penguasaannya akanhadis dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akarsyariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan,diantaranya Al-Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritualdi kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri),yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan
2. Junaid al Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dankeponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggaldi Baghdad pada tahun 297/910 M. Dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yangteguh dalam menjalankan syari’at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Diaadalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuai apa yangdianutnya, madzhab abu sauri : serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-Junaid adalah seorang sufiyang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahassecara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana’. Karena itulah diadigelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta’ifah); sementara al-Qusayiri di dalamkitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya tokoh dan imam kaum sufi.Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa diIrak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-Junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin ‘Asad al-muhasibi.Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaangurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil di mukaumum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyakmembahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyakdiriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimanadiriwayatkan oleh al-Qusyairi: “orang-orang yang mengesakan Allah adalahmereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwaDia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah darifana terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskanAl-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkanmati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaiddisebut fana’, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur’ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dalamsebutannya baqa’”. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyuciandan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaidmenguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia jugamengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
3. Al Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al Basri al Muhasibi. Ia lahir di Basrah tahun 165 H/781 M. Selagi masih kecil dia pindah keBaghdad, di sana dia kemudian belajar hadis dan teologi, bergaul rapat dengantokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan peristiwa penting pada masa itu. Iameninggal pada 243 H/851 M. Ajaran-ajaran dan tulisan memberikan pengaruhyang kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi sesudahnya khususnya kepada AbuHamid al-Gazali. Dia adalah seorang ulama yang termashur dalam ilmu usul danilmu akhlaq disamping dia juga seorang guru yang ternama di kota Bagdad. Diadigelari al-Muhasibi karena suka mengadakan introspeksi. Seperti sudahdisinggung di atas dia mengarang berbagai kitab tasawuf. Sebagian besar lainnyamemuat analisis kehidupan rohaniahhal inilah yang menjadi inti yang menjadi pokok tujuan kitabnya Al Ri’ayah merupakan karya orang islam yang terindah tentang kehidupan esoterik dalam islam.
Nama "al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukanantara filsafat dan teologi. Sebagai guru al-Junaid, al Muhasibi adalah tokohintelektual yang merupakan moyang dari al Syadzili. Al-Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupanspiritual.
4. Abdul Qadir al Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad, Irak.
Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah islam setelah berusia 50 tahun.Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadirdisebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebutsebagai Ghauts al-Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh al-Ghayb . Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
5. Al- Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mugis Al Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj (857-932). Iaadalah seorang alim dalam ilmu agama islam, seorang Sufi Persia dilahirkan diThus yang dituduh musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah diBaghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Sebagaimana dikatakan oleh IbnSuraij ia adalah seorang yang hafal Al-Quran dan sarat dengan pemahamannya,menguasai ilmu fiqih dan hadis serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmutasawuf dan dia juga seorang zahid yang terkenal pada masanya dan banyak lagisifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yangmenjadikaannya mampu melahirkan karya-karya gemilang tentang tasawuf.
Al-Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di al-Tutsari,kemudian berganti guru pada Syeikh al-Makki, kemudian mencoba bergabungmenjadi murid Junaid al-Baghdadi, tetapi ditolak.Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya AkulahYang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata, bisa juga berarti "Akulah Tuhan",mengomentari masalah ini al-Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkauterwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antaramanusia dengan Tuhan. Menurut Junaid "Al Abd yahqa al Abd al R abb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhantetap menjadi Tuhan".
Pada zamannya al-Hallaj dianggap musyrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan al-Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karenamasih pro dan kontra.
6. Jalaludin al Rumi
Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al Balkhi al Qunuwi. Dia lahir di Balkh pada tahun 604 H/1217 M dan meninggal pada tahun 672 H/1273 M di Qunyah. Ia menjadi seorang da’i dan faqih dan dia dipandang sebagai sufi yang menganut aliran kesatuan wujud. Sebagaimana sufi-sufi sebelumnya yang sealiran.
Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorangcendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yangterkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaanmaka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumidibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar.
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Abad Pertengahan
Masa ini sudah bisa dikatakan sebagai masa tasawuf, yaitu pada abad ketiga dan keempat hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagiaan akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati kehidupan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan rasa cinta. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini yaitu:
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Muahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H / 815 M. Ma’ruf al-Karkhi dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehingga ia digolongkan ke dalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf.
Ma’ruf al-Karkhi adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari paham cinta (al-hubb) yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada Allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena karunia Allah. Kalau dahulu hidup kerohanian, terutama bertujuan untuk membebaskan diri dari siksa akhirat, sekarang bagi Ma’ruf al-Karkhi, bertujuan sebagai sarana untuk memperoleh ma’rifah kepada Allah.
2. Abu al-Hasan Surri al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi al-Saqti. Dia adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan merupakan tokoh sufi terkemuka di Bagdad. Ia meninggal pada tahun 253 H / 867 M dalam usia 98 tahun.
Dalam menjalankan ajaran tasawuf, dia beramal siang - malam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan penuh khusu’ dan tawadu’. Siang dan malam yang dia lalui tidaklah berarti tanpa diisi dengan ibadah dan pengabdian. Karena hanya dengan memperbanyak ibadah dan pengabdian itulah, menurutnya dia dapat bertemu dengan Tuhan, dan pertemuan dengan Tuhan itu meruakan puncak keabadian yang sejati.
Dengan terkonsentrasinya pikiran dan perasaan, hilangnya tabir antara seorang sufi dengan Tuhan maka tidak ada lagi yang dirasa dan dipikirkannya kecuali wujud Tuhan. Keadaan seperti ini disebut fana’ yang dipahami sebagai hilangnya sensasi, sehingga ia tidak merasa lagi adanya wujud yang lainnya.
3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah al-Darani. Dia dilahirkan di Daran, sebuah kampung di kawasan Damakus, dan meninggal pada tahun 215 H / 830 M. Dia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka, seorang ‘arif dan hidupnya sangat wara’. Hidup kerohaniannya penuh diliputi dengan kebersihan jiwa dan kesucian pribadi.
Diantara ucapan-ucapannya yang mengandung ajaran kerohanian adalah: “Orang tidak dapat bersikap zuhud terhadap pesona dunia, kecuali orang yang kalbunya diisi Allah dengan nur-Nya sehingga segenap rasa dan pikirannya tertuju kepada masalah-masalah akhirat saja”. Kemudian, dia juga pernah berkata : “Orang yang ‘arif, kalau telah terbuka penglihatan mata kakinya, kaburlah penglihatan mata lahirnya, sehingga tidak satupun yang dilihatnya, kecuali yang satu, Tuhan”. Dalam sejarahnya al-Darani dikenal sebagai salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikat.
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Modern
Masa ini disebut juga sebagai masa konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasar aslinya yaitu Alqur’an dan Hadits yang sering disebut juga dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi sunnah Nabi dan para sahabat. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini adalah:
1. Al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Dan Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
Ajaran-ajaran Taswuf Al-Qusyairi adalah mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah. Seandainya karya al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara medalam, akan tampak secara jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlu Sunnah, sebagaimana pernyataannya, “Ketahuilah ! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlu Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Merekapun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini. Selain ajaran mengembalikan tasawuf ke landasan sunnah, Al-Qusyairi juga memberikan ajaran-ajaran tasawuf lainnya seperti, kesehatan batin, penyimpangan para sufi dan urutan maqamat menurut Al-Qusyairi.
2. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat.
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia pun berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu member penerangan.
D. Tokoh-Tokoh Tasawuf Kontemporer
Masa ini adalah masa yang ditandai dengan munculnya falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa dan rasio, tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagia persatuan anatara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep Wahdatul Wujud. Tokoh-tokoh pada masa ini antara lain :
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. karya yang telah dihasilkannya antara lain Al-Futuhat Al-Makkiyah, tarjuman Al-Asuywan dan masih banyak lagi.
Ajaran tasawuf dari Ibn Arabi adalah wahdatul wujud (kesatuan wujud) yaitu bahwa wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakekatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakekat. Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara a’bid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah), keduanya adalah satu.
Selain itu ajaran tasawuf Ibn Arabi adalah Al-Haqiqat Ul Muhammadiyah, alam ini tidak dapat dipisahkan dadri ajaran hakikat muhammadiyah atau nur Muhammad. Menurut beliau, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai wujud Tuhan sebagai wujud mutlak dan wujud hakekat muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah yang wujud dengan proses tahapan penciptaan alam semesta.
2. Umar Ibn Al-Faridh
Umar Ibn Al-Faridh berasal dari Homat ( Tanah Syam ), lahir di Kairo, Mesir. Ia hidup dari tahun 1181-1235 M. Selama hidupnya ia tinggal di Mekkah dan ia meninggal di Kairo. Dia terkenal dengan keistimewaannya mengubah syair pencintaan kepada Tuhan. Syair yang bernilai tinggi dalam lapangan kecintaan kepada Tuhan. Dorongan rasa keindahan dalam jiwa yang sejati. Sama sekali adalah kesaksian terhadap yang haq, yang mutlak dan jujur, timbul dari kebersihan jiwa dan terang jernihnya penglihatan mata rohani.
Syair kecintaan pada Tuhan dari Ibnu Faridh telah menimbulkan inspirasi bagi berpuluh dan beratus penyair lain, sehingga sesudah abad keenam dan ketujuh lahir syair-syair shufiyah.
3. Ibnu Sabi’in
Nama lengkapnya Ibnu Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Dilahirkan pada tahun 614 H (1216/1217) M di Murcia, Spanyol. Dia adalah seorang sufi yang juga filosofnya dari Andalusia.
Ajaran-ajaran tasawufnya yakni, Paham kesatuan mutlak, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat yang pertama. Wujud Allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Pendapat Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut, merupakan dasar dari paham, khususnya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban dengan Allah.
4. Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Massarah. Ia lahir di Cordova, Andalusia pada tahun 269 H/883 M. Ibn Masarrah merupakan seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia juga. Ia memberikan pengaruh besar terhadap esoteric mazhab Al-Mariyyah. Ia termasuk sufi aliran ittihadiyyah. Ia penganut sejati aliran Mu'tazilah. Namun berpaling pada mazhab Neoplatonisme. Oleh karena itu ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani kuno.
Ajaran tasawufnya yaitu, Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah, Dengan penakwilan ala philun (aliran isma’iliyyah) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ia menolak adanya kebangkitan jasmani dan siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa klasik tasawufnya masih zuhud, tidak terlalu suka dengan duniawi. Secara keilmuan masih belum terpuruk. Diantara tokoh-tokohnya yaitu: Ibn Athaillah as Sakandary, Junaid al Baghdadi, Al Muhasibi, Abdul Qadir al Jailani, Al Hallaj, dan Jalaludin al Rumi. Pada abad pertengahan baru muncul kata tasawuf ,mulai ada gejolak dan perpecahan. Ketika kepemimpinan jatuh pada dinasti bani umayah terdapat perbedaan drastis pola hidup dimana berubah menjadi serba mewah dan muncullah orang-orang zahid yang menolak dengan gaya hidup tersebut. Namun saat menolak sedikit berlebihan sehingga menarik diri dari masyarakat dan asyik dengan dirinya sendiri beribadah dengan Allah. Tokoh-tokoh pada masa itu yaitu: Ma’ruf al Kharki, Abu al Hasan surri al Saqti, dan Abu Sulaiman al Darani.Pada era Modern di kritik karena terlalu asyik dengan dirinya sendiri, dengan tokoh: Al Qusyairi dan Al ghazali. Pada kontemporer tasawuf lebih bersifat elektronik dan bisa dikatakan komoditas. Dan tokohnya yaitu: Ibnu Arrabi, Umar Ibn al Faridh, Ibnu Sabi’in, danibn Masarrah.
B. Saran
Kita sebagai umat islam wajib mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf karena dengan kita mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf hidup kita menjadi lebih tenang dengan kita mendekatkan diri kepada Allah secara langsung. Senlain itu, dengan kita mengetahui ilmu tasawuf insya allah kita selalu berada dijalan kebenaran dan kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Yanuar, Hikmah, Karomah & Kisah Spiritual Tokoh-Tokoh Sufi Dunia (Yogyakarta : PT Araska, 2006)
As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Mujib, Abdul, Tokoh-Tokoh Sufi: Kata Hikmah, Syair dan Ajarannya yang Menarik Hati (Gresik : PT Bintang Pelajar, 1988)
Musbikin, Imam, Jejak-Jejak para Sufi (Yogyakarta : PT Mitra Pustaka, 2005)