HADITS TENTANG ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hadits
Dosen Pengampu : Ahmad Minan Zuhri, S.Pd.I. M.S.I.
Disusun oleh :
Abu Yamin 63020180062
Gunawan Figar M 63020180063
Khoirun Nissa Afina 63020180064
Narendra Irawati 63020180194
HALAMAN JUDUL
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN AKADEMIK
2018 / 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, taufik serta hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “HADITS TENTANG ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)”dengan lancar dan tepat waktu tanpa halangan suatu apapun. Shalawat serta salam marilah kita sanjungkan kepada nabi besar kita nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan islam dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang ini.
Terimakasih kami mengucapkan kepada dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada kami dan tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyusun makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan baik dari segi kata maupun tata bahasanya. Karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi bagi pembaca.
Salatiga, 15 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Ariyah 5
B. Dasar Hukum Ariyah 6
C. Rukun dan Syarat Ariyah 8
D. Pembayaran Pinjaman 9
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya 11
F. Tanggung Jawab Peminjam 12
BAB III 15
PENUTUP 15
A. Kesimpulan 15
B. Daftar Pustaka 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam-meminjam (Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Ariyah?
2. Bagaimana dasar hukum Ariyah?
3. Apa saja rukun dan syarat Ariyah?
4. Bagaimana cara pembayaran pinjaman?
5. Bagaimana jika meminjam pinjaman dan menyewakannya?
6. Bagaimana tanggung jawab peminjam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Ariyah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum Ariyah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat Ariyah.
4. Untuk mengetahui cara pembayaran pinjaman.
5. Untuk mengetahui bagaimana jika meminjam pinjaman dan menyewakannya.
6. Untuk mengetahui cara tanggung jawab peminjam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ariyah
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Menurut etimologi bahasa Arab, ‘ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, kembali, atau beredar. ‘ariyah ada beberapa pendapat :
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah:
تَمْلِكُ المَنَا فِعِ مَخَا نًا
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”.
2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah:
تَمْلِكُ مَنْفَعَةٍ مُؤَ قَّتَةٍ لَا بِعَوْ ضٍ
“memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”.
3. Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah ialah:
اِ بَا حَةُ ا لِانْتِفَاعِ مِنْ شَخْصٍ فيْهِ اَهْلِيْة التَّبَرُّعِ بِمَا يَحِنُ
اْلِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِعَيْنِهِ لِيْرُدَّهُ عَلَى الْمُتَبَرُّعِ
“kebolehan mengambil manfaat dari seorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
4. Menurut Hanabilah. ‘ariyah ialah:
اِبَاحَةُ نَفْعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِعَوْ ضٍ مِنَ الْمُسْتَعِرِاَوْغَيْرِه
“kebolehan memnafaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah:
اِبَا حَةُاْلِانْتِفَا عِ بِمَايَحِلُّ اْلِانْتِمَا عُ بِهِ مَعَ بَقَا ءِ عَيْنِهِ لِيْرُ دَّ ه
“kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan”.
6. Menurut Al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah:
هِبَةُا لمُنَا فِعِ
“memberikan manfaat-manfaat”.
7. ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganta”.
Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli di atas, dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut sama. Jadi, yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalanya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, bahwa ‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam”memilik manfaat” barang yang dipinjam. Peminjam itu dilakukan secara sukarela tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh karena itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjakannya untuk orang lain.
B. Dasar Hukum Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong ‘ariyah adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-qur’an ialah:
وَ تَعَا وَ نُوْاعَلَئ البِرَّوَالتَّقْوَ ى وَلَاتَعَا وَنُوْ ا عَلَئ اْلِا ثْمِ وَالْعُدْ وَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu untuk bebrbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan (Al-Maidah:2)
اِنَّ الله يَاءْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَ دُّواالْاَمَانَاتِ اِلَئ اَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (Al-Nisa: 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Al-qur’an, landasan hukum yang kedua ialah hadits, Dalam landasan ini ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
اَدِّالْاَمَانَةَ اِلَئ مَنِ ا ءْتَمَنَكَ وَلَاتَخُنْ مَنْ خَا نَكَ
Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu (dikeluarkan oleh Abu Dawud)
اَلعَا رِ يَةَ مُؤْذَاةٌ
Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan (Riwayat Abu Dawud)
لَيْسَ عَلَئ الْمُسْتَعِرِ غَيْرِ المُغَلَّ ضَمَا نٌ وَلَاالْمُسْتَوْدِعِ غِيْرِ المُغِلَّ ضَمَانٌ
Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian (Riwayat Daruquthni).
مَنْ أَخَذَ أَمْوَ الَ النَّا سِ يُرِ يْدُ أَ دَاءَ هَا اَدَّئ اللهُ عَنْهُ وَمَنْ
أَ خَذَ يُرِ يْدُأِ تْلاَ فَهَا أَتَلفَهُ اللهُ
Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan mebayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya (Riwayat Bukhari)
مُطِلُّ الْغَنَّئِّ ظُلْمٌ
Orang kaya yang memperlambat (melalikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya) (Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti sesorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku berutang benda kepada kamu”. Syarat benda ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutungkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi , mu’ir dan musta’ir adalah:
• Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy;
• Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
• Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal yaitu:
• Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
• Pemanfaatan itu diperbolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ‘ariyah ada 4 yaitu:
1. Orang yang meminjamkan
2. Orang yang meminjam
3. Barang yang dipinjam
4. Lafal peminjam
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:
1. Orang yang meminjam harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Berakal
b. Cakap bertindak, dan
c. Amanah.
2. Barang yang dipinjam merupakan barang yang tidak habis atau musnah bila dimanfaatkan, seperti makanan.
3. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
4. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang diperbolehkan oleh syariat.
Skema ‘Ariyah
D. Pembayaran Pinjaman
Status Akad Ariyah
Menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa akad ariyah itu sifatnya tidak mengikat bagi kedua pihak. Artinya, pemilik barang boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam boleh kapan saja memulangkan barang itu kapan saja ia kehendaki.
Menurut ulama Malikiyah, pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam.
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasullah SAW, bersabda:
مَطْلُ الغَنِيَّ ظُلْمٌ
“orang kaya yang melalikan kewajiban membayar utang adalah aniaya (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasullah SAW. Berbsabda:
فَأِنَّ مِنْ خَيْرِ كُمْ أَحْسَنَكُمْ قَضَا ءً
Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Rasullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinja,. Kemudian Rasul bersabda:
خِيَا رُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَا ءً
Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan baik (Rahmat Ahmad)
Jika penambahan tersebut dikehandaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya:
كُلُّ قَرْ ضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٍ فَهُوَ وَ جُهْ مِنْ وُجُوْ هِ الرَّ بَا
Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba (Dikeluarkan oleh Baihaqi)
Sifat Akad Ariyah
Disepakati oleh para ulama, bahwa akad ‘ariyah adalah tolong menolong, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah akad ‘ariyah bersifat peminjam.
Menurut ulama Hanafiyyah ‘ariyah diytangan peminjam bersifat amanah apabila barang itu rusak karena kelalaian peminjam, maka ia harus menggantinya, bila bukan karena kelalaiaannya, maka ia tidak berhak menggantinya.
Menurut ulama Hanabillah, akad ‘ariyah memiliki resiko ganti rugi, baik dibabkan perbuatan peminjam maupun disebabkan hal-hal lainnya.
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik barang berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
Menurut jumhur ulama, pemanfaatan barang itu oleh peminjam terbatas pada sejauh mana izin yang diberikan oleh pemiliknya.
Menurut Ulama Hanafiyyah, bila peminjam dilakukan secara mutlak, berarti peminjam berhak untuk memfaatkan barang itu sesuai dengan keinginannya, baik dimanfaatkan untuk dirinya sendiri, keluarganya, maupun dipinjamkan untuk dimanfaatkan oleh orang lain, tetapi apabla pemilik barang memberikan pinjaman barang dengan batasan waktu, tempat, dan pemakaian, maka peminjam terikat pada syarat-syarat yang ditentukan.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hak pemanfaatan pinjam meminjam terhadap barang yang dipinjamkan mu’ir kepadanya. Jumhur Ulama mengatakan, bahwa peminjam hanya boleh memanfaatkan benda yang dipinjamnya sesuai dengan izin mu’ir. Adapun ulama Hanafiyah membedakan ‘ariyah menjadi 2 macam, yaitu ‘ariyah muthalaqah dan ‘ariyah muqayyadh. ‘ariyah muthalaq adalah seseorang yang meminjam suatu barang dari orang lain tanpa menyebutkan secara spesifik siapa yang boleh memnafatkan barang tersebut dan bagaimana cara penggunaannya.
Adapun ‘ariyah muqayyadah ialah seseorang yang meminjam suatu barang dari orang lain dengan menyebutkan tempat, waktu, maupun peruntukkan secara spesifik. Dalam ‘ariyah muqayyadah ini, apabila peminjam melampaui batas yang telah ditetapkan dalam akad, maka dia harus bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi yang diakibatkan oleh tindakan diluar akad tersebut.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai kedudukan benda yang dipinjamkan oleh mu’ir kepada musta’ir. Ulama Harfiyah berpendapat bahwa barang yang dipinjamkan itu merupakan benda amanah ditangan peminjam. Mereka mendasarkan pada informasi hadits yang berbunya: “peminjam dan pemegang titipan tidak wajib mengganti, kecuali karena khianat”. Karena itu, peminjam tidak wajib mengganti barang yang rusak atau hilang yang disebabkan bukan karena kelalian peminjam.
Ulama Malikiyah pada dasarnya sependapat dengan kelompok Hanafiyah, bahwa benda yang dipinjamkan itu merupakan amanah. Hanya saja, Malikiyah mengelompokkan benda yang dipinjam menjadi 2 bagian, yaitu benda yang dapat dihilangkan dan benda yang tidak dapat dihilangkan. Untuk benda yang pertama, musta’ir wajib mengganti, apabila dia menghilangkannya, contohnya pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Sedangkan untuk benda yang kedua, menurut mereka peminjam tidak wajib mengganti apabila benda tersebut hilang. Termasuk kategori benda ini antara lain tanah, dan rumah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa, barangyang dipinjamdianggap sebagai tanggungan si peminjam, karena itu peminjam bertanggung jawab sepenhnya terhadap barang yang dipinjamnya, termasuk apabila barang itu rusak atau hilang dengan sengaja atau tidak. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Hanabilah.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum menyewakan atau meminjamkan barang pinjaman kepada pihak lain. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum mengizinkan ika penggunaannya untuk hal-hal yang berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Ulama Hanabilah juga mempunyai pendapat yang sama dengan Hanafiyah dan Malikiyah, yaitu bagi peminjam dibolehkan untuk memenfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya, selama peminjam berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Maka, menurut Hanabilah haram hukumnya menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Apabila barang yang dipinjamkan tersebut dipinjam lagi oleh musta’ir kepada orang lain dan mengalamin kerusakan tatkala ditanganya, maka pemilik barang berhak meminta ganti rugi kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua, karena dialah yang memgang barang tersebut, ketika ia rusak.
Adapun mengenai hak permintaan kembali barang pinjaman, dalam hal ini, Jumhur ulam berpendapat, bahwa mu’ir berhak untuk meminta kembali barang yang dipinjamkan kepada musta’ir kapan saja. Ketentuan ini berlaku dalam akad ‘ariyah muthlaqah. Tetapi dalam akad ‘ariyah muqayyadh, pemilik barang tidak boleh begitu saja mengambil barang itu, apabila kemungkinan untuk pemanfaatannya belum berakhir. Hal ini dimaksudkan adanya kemungkinan untuk menghindari kemungkinan dirugikannya pihak peminjam. Karena itu, apabila tuntutan barang tersebut mengakibatkan kerugian pada musta’ir, maka hendaklah pemengambilan dan tuntutannya ditunda, agar kerugiannya dapat dihindarkan. Namun apabila masa pengambilan manfaat barang telah selesai, maka musta;ir harus segera mungkin mengembalikan barang tersebut kepada mu’ir.
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasullah SAW:
عَلَئ الْيَدَ مَا أَ خَدَ تْ حَتَّئ تٌؤَ دَّ يَ
Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karena Rasullah SAW, bersabda:
لَيْسَ عَلَئ الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ المُغِلَّ ضَمَا نٌ وَلَاالْمُسْتَوْدِعِ غَيْرِ المُغِلَّ ضَمَا نٌ
Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan (Dikeluarkan al-Daruquthni).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ariyah adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-qur’an ialah QS. Al-Maidah ayat 2, dan HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Dalam Ariyah juga terdapat rukun dan syarat-syaratnya. Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang. Peminjam hanya boleh memanfaatkan benda yang dipinjamnya sesuai dengan izin mu’ir
B. Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Huda, Qamarul. 2011. Fiqih Muamalah. Yagyakarta: Teras.
Mardani. 2013. Hukum Perikatan Syariah di Indonesia. Sinar Grafika
Jumat, 22 Maret 2019
Makalah hadist Ariyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar