Khoirun Nissa Afina
63020180064
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh Ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran merupakan sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-Quran dan Sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi.
Setelah perkembangan pemikiran ekonomi Islam pasca Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin, muncul perkembangan pada abad pertengahan yang dibagi menjadi 3 periode yang didasarkan atas nama tokoh ekonomi Islam. 3 periode tersebut antara lain Ekonomi Islam periode awal Islam sampao 1058 M, periode kedua dan periode ketiga.
Dengan demikian sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah bahagimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Al-Quran dan Sunnah pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang terdahuluj mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, penulis akan menyusun makalah dengan judul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Periode Klasik.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai :
1. Siapa saja tokoh pemikiran ekonomi Islam pada periode klasik atau pertama?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada periode klasik atau pertama?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh pemikiran ekonomi islam pada periode klasik/pertama.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada periode klasik/pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Klasik
Ekonomi klasik merupakan fase pertama atau fase awal abad sampai dengan abad ke- 5 H atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar – dasar ekonomi islam yang dirintis oleh para fukaha, didikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tapi kemudian hari para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga rintisan tersebut. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ekonomi. Namun demikian, dengan mengacu pada al-quran dan hadist nabi, mereka mengeksplorasi maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada manfaat sesuatu yang dianjurkan dan kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas bersifat normative dengan wawasan postif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik,dan batasan – batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasakahan dunia.
Konteks pemikiran ekonomi islam klasik yang dimaksud dalam bab ini adalah pemikiran ulama muslim dengan pemikiran ekonomi islam setelah era Rasulullah SAW. Dan khulafaur Rasyidin.[1]
1. Tokoh –tokoh Pemikiran Islam
a. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin khunais bin sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al Kufi-Al-Baghdadi atau yang lebih dikenal sebgai Abu Yusuf lahir di Kufah pada tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia pada tahun 182 H (798 M) di Bgahdad. Sejak kecil ,ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dipengaruhi oleh suasana kufah yang pada saat itu merupakan salah satu pusat perdaban islam, tempat yang didatangi para cendekiawan muslim dari seluruh penjuru dunia untuk saling bertukar pokiran tentang berbagai bidang keilmuan. Abu usuf tumbuh sebagai seorang alim ulama yang dihormati bimbingannya kepada ulama besar. Karena ketekunanya dan kecerdasannya, berbagai pendapat Abu Yusuf dijadikan sebagai auan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai salah seatu bentuk penghormatan den pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalamn ilmunnya, lalu Abu yusuf meluangkanwaktu untuk menulis ditengah kesibukan mengajar dan birokrasi. Beberapa karya tulisannya yang penting yaitu: Al-Jawami’, Ar-radd’ala Siyar Al-Auza’i, ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi-Laila, Adab Al-Qadhi,dan Al-kharaj.
Salah satu karya Abu Yusuf yang snagat monumental adalah kitab Al-Kharaj (buku tentang perpajakan dan pertanian). Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam hal pajak ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Poin kontroversial dalam analisi ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada Sunnah Rosul. Abu Yusuf menyatkan bahwa hasil panen yang berlmpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan,sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan hargannya melambung.
Salah satu pemikiran Abu Yusuf ialah tentanfg analisis ekonomi adalah mengenai masalah pengendalian harga ia menentang penguasa yang menetapkan harga di pasar. Penguasa pada masa itu cenderung memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah pasokan bahan makanan dan menghindari kontrol harga.
Secra umum berdasarkan penjelasan tersebut, pemikiran ekonomi, yang dikemukakan oleh Abu Yusuf :
1) Negara memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta harus dibiayai oleh negara.
2) Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal ketika persediaan barang melimpah, sementara harga akan murah walaupun persediaan barang berkurang.
3) Merekomendasikan penggunaan sistem muqasamah (proportional tax) daripada sistem miahah (fixed tax) pada pemungutan pajak pertanian.
4) Merekomendasikan agara pemerintahan segera mengehentikan praktik sistem qabalah karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar.
5) Abu Yusuf mementang penetapan harga yang dilakukan oleh penguasa dan lebih menyukai pengendalian pasar dibandingkan denga pengendalian harga.[2]
b. Abu Ubaid (150 -224 H)
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah Khurasan, sebelah barat laut Afganistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Pada umur 20 tahun Bau Ubaid berkelana untuk menuntut ilmu ke berbbagai kota, seperti Khfah, Basarah, dan Baghdad. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tata Bahasa arab,qira’at, tafsir,hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H Abu Ubaid diangkat oleh gubernur Thugur sebagai qadi (hakim). Seteklah itu penulis kitab Al-Amwal ini tinggal Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H , setekah berhaji ia mentap di Makah sampai wafat. Ia wafat pada tahun 224 H.
Abu Ubai terkenal sebagai ahli hadis dan ahli fiqih terkemuka pada masa hidupnya. Hal yang menjadi fokus perhatian Abu Ubaid dalam kkitabnya yang terkenal yaitu Al-Amwal yang berkaitan dengan standar etika plolitik suatu pemerintahan daripada efisensi pengelolaanya.
Bagian- bagian baba pada kitab Al-Amwal yaitu:
1) Pada bab awal membahas tentang hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemrintah
2) Bab kedua menguraikan bebrbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan pada penguasa atas nama rakyat serta bergbagai landasan hukumnya dalam Al-quran dan Sunnah.
3) Bab ketiga membahas tentang pendapatan atau penerimaan fai. [2]
Salah satu ciri kitab Al-Amwal yaitu pemnbahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Dalam bab ini Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standardisadi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi (Kallek,1998 dalam Karim,2010.)
Secara umum pemikan ekonomi yang diajukan oleh Abu Ubaid adalah sebagai berikut:
1) Negra memiliki sumber pendapatan yang utama dari fai,khums, dan ahadaqah serta pendistribusian atas bebrbagai pendapatan negara tersebut kepada masyarakat.
2) Kepntingan individu apabila bebrbenturan dengan kepentingan publik, kenpentingan public harus diutamakan.
3) Pendistribuan yang bebeda atas kelompok bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan urban mendapatkan hak yang lebih dibandingkan dengan badui karena sumbangsihnya terhadap negara.
4) Menentang pednapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan.
5) Fungsi uang yang hanya sebagai sarana pertukarab (medium of exchange) dan saran penyimpanan nilai (store of value).
6) Konsep timbangan dan ukuran dalam trasnsaksi ekonomi.[3]
c. Al – Mawardi ( 364-450 H/974-1058 M)
Al-Mawadi Al-Basri Asy-Syafi’I lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). Setelah kembali ke Baghdad, ia diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bin Amirillah Al-Abbasi.
Pemikiran ekonomi Islam Al-Mawardi tersebar pada tiga karya tulisnya, yaitu Kitab Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Al-Hawi, dan Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Al-Ahkam As-Sulthaniyyahmerupakan kitab yang paling komprehensif dalam mempresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi yang terletak pada pendapat mereka tentang pembebanan pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman public.
Teori keuangan public selalu berkaitan dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Al – Mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar adalah sebagai berikut (karim,2010):
1) Melindungi agama,
2) Menegakkan hokum dan stabilitas
3) Memelihara batas Negara Islam,
4) Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif,
5) Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hokum Islam,
6) Mengumpulkan pendapat dari berbagai sumber dan menaikkan dengan menerapkan pajak baru.
7) Membelanjakan dana-dana baitul mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya.
Menurut Al-Mawardi, atas penilaian karaj harus bervariasi sesuai dengan factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi, serta jarak antara tanah yang menjadi obyek karaj pasar. Al-Mawardi menyarankan menggunakan metode salah satu dari ketiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
1) Metode misahah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan ukuran tanah,
2) Metode penetapan karaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami,
3) Metode musaqah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi. [6]
d. Zaid Bin Ali (80-120 H/ 699-728 M)
Zayd bin Ali juga merupakan ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Zayd bin Ali juga sebagai tokoh penggagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[3]
Pengakuan bahwa Zayd bin Ali sebagai ahli fiqh pernah diucapkan oleh Iman Abu Hanifah yang pernah berguru selama 2 tahun, yaitu:
“Aku kenal Imam Zayd bin Ali sebagaimana aku kenal tentang keluarganya. Di masanya tidak pernah seorang yang lebih ahli dalam fiqh daripada beliau. Dan aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih luas ilmu dan pengetahuannya, lebih cepat menjawab dan lebih terang penjelasannya daripada beliau, jarang sekali mendapati orang semacam beliau.’’
Beberapa pandangan dan pengetahuannya tentang isu-isu ekonomi yang telah dipaparkan oleh Abu Zahra, Zayd bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Zayd tidak membolehkan harga yang ditangguhkan pembayarannya lebih tinggi dari pembayaran tunai.
Dasar-dasar pemikiran ekonomi Imam Zayd bin Ali adalah menyatakan keabsahan jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih daripada jual beli tunai. Pemikiran ini menjadi salah pijakan mendapat tentang menetapkan kelebihan harga yang lebih tinggi pada jual beli secara kredit ataupun tangguh atau tertunda.[5]
Beliau tidak memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayarnya lebih tinggi dari pembayaran tunai, sebagaimana halnya penambahan pembayaran dalam penundaan pengembalian pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah riba. Tidak ada perbedaan antara pengucapan:
“Engkau membayarnya sekarang atau memberi lebih sebagai pengganti pemindaian. Menjual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari pada tunai karena penundaan pembayaran adalah sama dan itu adalaah riba.”[6]
Prinsipnya jenis transaksi barang atau jasa yang halal kalau didasarkanatas suka sama suka diperbolehkan. Sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 29 yaitu:
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
Dalam kegiatan perniagaan yang didasarkan pada penjualan kredit, perlu diperhatikan bahwa para pedagang mendapatkan untung darinya, pendapatan seperti itu adalah bagian dari perniagaan bukan riba. Contohnya, apabila ada harga barang pada saat harga tunainya hanya saru juta rupiah maka dalam harga kreditnya bisa lebih tinggi dari satu juta dan ini merupakan transaksi yang sah. Tapi yang harus diperhatikan dalam transaksi ini menurut Zayd bin Ali adalah keharusannya dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak yang bertransaksi. (Karim, 2004)
Contoh lain dari kesepakatan yang dicapai pada kasus orang yang menjual barang dengan kredit yaitu ada seseorang yang melakukan penambahan pendapatan untuk mempromosikan bisnisnya. Ini adalah sebuah respon terhadap pasar, bukan suatu tindakan diluar apa yang dibutuhkan oleh penjual. Dengan alasan ini penjual dengan kresit bisa menetapka harga yang berbeda untuk waktu pembayaran yang berbeda.
Seseorang yang membeli kredit mendapatkan aset produktif yang dapat memberikan keuntungan, dan mendapatkan keuntungan adalah salah satu dari tujuan perniagaan yang dilakukan oleh peminjam. Dalam persoalan ini, selisih antara harga tunai dengan harga yang ditangguhkan adalah nilai keuntungan dan disebut suatu yang riba. Masalah tersebut tentu akan berbeda dengan penangguhan pembayaran pinjaman. Seorang yang menjamin suatu pinjaman mendapatkan aset harganya tidak berubah terhadap waktu dengan uang sebagai standart harga.
Harga yang lebih tinggi dalam kasus penjualan dengan kredit berasalan tersebut sudah jauh diselidiki oleh Abu Zahra, namun beliau tidak dapat memberikan bukti kelebihan harga terhadap waktu diperbolehkan. Ketika dalam suatu usaha mengetahui bahwa keadaan harga pasar akan jatuh dimasa depan, maka mereka melakukan penghabisan persediaan dan mendapatkan cash. Seseorang juga boleh menjual dengan cara kredit pada harga yang lebih rendah dari harga aslinya. Bahkan, seseorang boleh menjual dengan harga lebih dan mungkin menghubungkan harga yang rendah dari harga beli baik tunai atau kredit dan harga yang lebih tinggi dengan waktu. Dalam kenyataanya, perbedaan antara dua harga sering tidak dapat diperhitungkan.
Hal yang terpenting dari permasalahan diatas adalah bahwa dalam syari’ah setiap kontrak baik buruknya ditentukan oleh kontrak itu sendiri, tidak dihubungkan dengan kontrak lain. Kontrak jual beli pembayarannya ditangguhkan adalah suatu kontrak itu sendiri dan memiliki hak sendiri untuk diperiksa apakah adil atau tidak tanpa dihubungkan dengan kontrak lain.
Jadi penerapan ekonomi islam dalam pemikiran Zayd bin Ali yaitu:
1. Menurut Zayd bin Ali, transaksi kredit dapat dibenarkan selama masih dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
2. Penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar.
3. Keuntungan dari penjualan kredit adalah kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang tanpa harus membayar tunai.
4. Keuntungan dari jual beli secara kredit tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhkan pembayaran pinjaman.
5. Menurut Zayd, uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan hanya melalui perniagaan.
6. Keuntungan yang didapat dari penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi selalu berkaitan dengan waktu.
7. Seseorang dapat juga menjual barangnya, baik secara tunai ataupun kredit, dengan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
8. Seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
9. Dalam syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri, tidak dihubungkan dengan akad lain.
e. Abu Hanifah (80-150 H/ 767 M)
Abu Hanifah al nu’man ibn Sabit bin Zauti, ahli hukum agama islam dilahirkan di Kuffah 699 M pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Abu hanifah lebih dikenal sebagai Imam Madzab hukum yang rasionalitis dan juga dikenal sebagai penjahit pakaian atau taylor dan pedagang dari Kuffah, dan Irak. Ia seorang non-Arab keturunan Persia. Kakeknya Zauti mengenalkan Sabit kepada Sayyidina Ali.
Abu Hanifa mengalami pemerintahan sepuluh khalifah umayyah, termasuk Umar bin Abdul Aziz yang bertahta ketika Abu Hanifa baru berusia 18tahun. Abu Hanifa juga pernah melihat dua khalifah abbasiyah, saffah, dan Mansur. Kesibukan Abu Hanifa terutama pada kegiatan perdagangan, ia terkenal sangat jujur.
Menjelang akhir hidupnya, Abu Hanifa di penjarakan oleh Khalifah Abbasiyah, Abu ja’far Al- Mansur karena menolak menerima jabatan sebagai qadla atau hakim kerajaan Abbasiyah. Namun menurut pendpat lain, dia di masukkan ke sel karena diduga mendukung Zaidiyah (sebuah faksi dari mazhab Syi’ah) yang begitu sering menentang Dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifa meninggal pada tahun 150 H, tahun di masa Imam Syafi’i lahir. Beliau di makamkan di pemakaman umum khaizaran. Ikut meninggalkan beberapa karya tulis, antara lain al – Makharif fi al – Fiqih, al- musnada , sebuah kitab hadits yang di kumpulkan oleh muridnya.
Beliau menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salam dan al-murabahah. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi yaitu sebagai berikut:
1. Salam
Salam yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang beli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.
Abu Hanifah mengkritik prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus ketahui dan dinyatakan dengan jelas secara kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia dipasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman.
2. Murabahah
Untuk menghilangkan ambigus dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam jual beli maka beliau memberikan contoh, murabahah. Dalam murabahah presentase kenaikan harga didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifah dibidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
3. Muzara’ah
Abu Hanifah sangat perhatian pada orang-orang yang lemah. Abu Hanifah tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang terlilit hutang beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah yang tidak menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.
f. Muhammad Bin Hasan Al-Syibani ( 132-189 H/750-804 M)
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al-Syaibani para ekonom muslim banyak merujuk pada kitab al-kasb, yang isinya mengenai kasb (pendapatan) dan sumbernya, serta perilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut kitab yang pertama kali didunia Islam yang membahas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, Dr. Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai seorang perintis ekonomi Islam. Beberapa pemikiran ekonominya antara lain sebagai berikut:
1) Al-Kasb (Kerja)
Al-Syabani mendefinisikan sebagai cara memperoleh harta melalui cara yang halal (aktivitas produksi). Aktivitas produksi dalam ekonomi Islam tentulah berbeda dengan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat berkaitan dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa. Kegiatan produksi yang dimaksudkan untuk meningkatkan nilai guna suatu barang atau jasa. Sedangkan Islam memandangnya lebih jauh, yakni suatu barang atau jasa akan mempunyai nilai guna apablia mengandung kemaslahatan.
2) Kekayaan dan Kefakiran
Menurutnya sekalipun banyak dalil yang menunjukan keutamaan sifat-sifat kaya, tapi siat-siat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dengan kebutuhannya, kemudian bergegas pada kebajikan dan mencurahkan perhatian pada urusan akhirat adalah lebih baik bagi mereka. Dalam hal ini siat-sifat fakir maksudnya adalah sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafayah). Siat-sifat kaya berpotensi menimbulkan kemewahan bagi pemiliknya. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
3) Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha perekonomian terbagi menjadi 4 macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan industry. Diantara ke-4 tersebut beliau lebih mengutamakan pertanian karena memproduksi sebagai kebuutuhan dasar manusia menunjang untuk melaksanakan kewajibannya.
4) Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan anak-anak Adam AS sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan mampu berdiri kecuali dengan empat perkara; makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika empat hal itu tidak diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut. (QS. Al-Jumu’ah[62]:10)
5) Spesialisasi dan distribusi pekerjaan
Al-Syaibani menyatakan bahwa yang fakir membutuhkan orang kaya, dan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut manusia akan semakin mudah dalam menjalankan ibadah kepada-Nya. Dan apabila seorang tersebut bekerja karena ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk mellaksanakan ibadah kepada-Nya, niscaya itu semua akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.
Dengan demikian distribusi pekerjaan seperti ini merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek sacara bersamaan, yaitu aspek religius dan ekomomis.7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan yang telah penulis paparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
Ekonomi klasik merupakan fase pertama atau fase awal abad sampai dengan abad ke-5H atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar–dasar ekonomi islam yang dirintis oleh para fukaha, didikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Konteks pemikiran ekonomi islam klasik yang dimaksud dalam bab ini adalah pemikiran ulama muslim dengan pemikiran ekonomi islam setelah era Rasulullah SAW. Dan khulafaur Rasyidin.
5 ulama yang telah disampaikan di atas, yaitu : AbuYusuf (113-182H/731-798), AbuUbaid (150-224H), Al–Ghazali (450-505H/1058-111M), IbnTaimiyah (661-728H/1263-1328M), Al–Mawardi (364-450H/974-1058M).
Salah satu pemikiran Abu Yusuf ialah tentang analisis ekonomi adalah mengenai masalah pengendalian harga ia menentang penguasa yang menetapkan harga dipasar.
Salah satu cirri kitab Al-Amwal yaitu pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus.
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam rangka semua hieraki utulitas individu dan social yang tri parti yakni, kebutuhan (darurat), kesenangan atau kenyamanan (hajat), dari kemewahan.
Ibn Taimiyah termasuk orang yang pertama kali secara khusus menaruh perhatian terhadap permasalahan harga dan adil meskipun istilah tersebut telah ada sejak awal kehadiran Islam.
Al–Mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
B.Saran
Kami sadar terdapat banyaknya ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, kami terbuka atas saran positiv yang dapat membangun dan menyempurnakan makalah ini dan makalah-makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Nur. 2015. Pengantar Ekonomi Syariah Teori dan Praktik. Bandung : CV Pustaka Setia
Azwar Karim, Adiwarman. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Mujahidin, Akhmad.2013. Ekonomi Islam Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Abdullah, Boedi. 2010. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia
http;//www.academia.edu/26331860/SEJARAH_PEMIKIRAN_EKONOMI_ISLAM_PERIODE_PERTAMA_450H_1508M