Rabu, 20 November 2019

Lembaga Kerapatan Anak Nagari Dalam masyarakat minang di Sumatra Barat


MAKALAH  
Disusun Guna Memenuhi Tugas Islam Keindonesiaan
‘’Lembaga Kerapatan Anak Nagari Dalam masyarakat minang di Sumatra Barat’’
Dosen Pengampu: Nur Edi Prabha Susila Yahya,S.TH.I,M.Ag.



 

Disusun oleh:
Kelompok 09




JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan  kehadirat Allah SWT  karena dengan taufik dan  hidayahNya kami dapat mempersembahkan makalah ini yang berjudul Lembaga Kerapatan Anak Nagari Dalam masyarakat minang di Sumatra Barat yang budiman. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan cahayaNya menuju  jalan  kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan  banyak  terima kasih kepada segenap pihak yang  telah  mendukung dan membantu dalam penyelesaian  makalah ini.  Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Semoga amal baik kita semua diterima  Allah SWT.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kami berserah diri serta memohon hidayah dan tambahnya ilmu.Semoga dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan  para pembaca yang  budiman umumnya.
 
 
Salatiga,30 Oktober 2019
               penulis
 


















DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2      
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
a. Latar Belakang 4    
b. Rumusan 4
c. Tujuan 4  
BAB II PEMBAHASAN 5
a. Sejarah Kerapatan Adat Nagari 5
b. Tugas dan Fungsi Kelembagaan Adat Nagari 7
c. Dasar Hukum Berdirinya Kelembagaan Adat Nagari 10
d. Cara Penyelesaian Sengketa Adat Oleh Kelembagaan Adat Nagari 10
BAB III PENUTUP 12
a. Kesimpulan 12
b. Saran 12
Daftar Pustaka 13







 




BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki bata-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintah Negara kesatuan republik Indonesia dan juga nagari merupakan kumpulan dari  beberapa jorong atau Korong yang memiliki tujuan dan prinsip yang sama.
Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno . Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.

Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.

B. Rumusan Masalah
1.    Sejarah kerapatan adat nagari
2.    Tugas dan fungsi kelembagaan adat nagari
3.    Dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
4. Jenis sengketa dan Cara penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau


C. Tujuan 
1. Untuk mengetahui sejarah adat nagari
2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi adat nagari
3. Untuk mengetahui dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
4. Untuk mengetahui Jenis dan  cara penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau







BAB ll
PEMBAHASAN
A. Sejarah kerapatan adat nagari
Nagari adalah pembagian wilayah admistratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatra barat,Indonesia. Istilah nagari menggantikan istilah desa atau kelurahan. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati di Indonesia. Dalam sebuah nagari dibentuk kerapatan aadat nagari (KAN),yakni lembaga yang beranggotakan tungku tigo  sajarangan. Yang merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama,cerdik pandai (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari).
Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno  . Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.

Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk  setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. 


Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, di mana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya. Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatra Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonomi, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Tahun 1974 Gubernur Harun Zain  memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal. Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatra Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah. 

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun tetap harus mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Tugas dan fungsi kelembagaan adat nagari
1. Organisasi KAN
    Penjelasan Pasal 1 huruf J Perda Nomor 13 tahun 1983 menyatakan bahwa KAN.adalah suatu lembaga tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berkembang di tengah- tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat selama ini. Lembaga ini merupakan suatu lembaga permusyawaratan dan pemufakatan sepanjang adat. Anggota KAN ini adalah pimpinan/ fungsional adat yang disebut penghulu dan atau urang ampek jinih.
Pasal 4, 5 dan 6 Perda Nomor 13 Tahun 1983 mengatur tentang organisasi         KAN, Pasal 4 menyebutkan:
1) Disamping Nagari dikukuhkan KAN yang telah ada dan hidup  di    Nagari Sumatera Barat.
2) KAN terdiri dari unsur- unsur penghulu adat yang berlaku menurut sepanjang
adat dalam masing- masing Nagari sesuai dengan sistem penerapan antara lain:
a) Pucuk adat dan atau ketua.
b) Datuk- datuk kaampek suku.
c) Penghulu-penghulu andiko.
d) Urang ampek jinih.
3) KAN dipimpin oleh seorang ketua dan atau oleh pucuk adat.
     Pasal 4 ayat 1 dalam penjelasannya megatakan Nagari tidak lagi merupakan suatu
     organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia setelah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Negara semata- mata hanya mengatur kehidupan masyarakat sepanjang adat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh KAN.Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa, unsur KAN adalah:
a) Ketua, sebagai pimpinan KAN diangkat dari pucuk adat yang telah ada ataupun   
terpilih, baik dalam sistem Koto Piliang maupun dalam sistem Bodi Caniago. Pucuk Adat ialah fungsional adat pada setiap Nagari yang mengikuti sistem adat Koto Piliang sebutan tersebut pada setiap Nagari tidak sama, misalnya Sandi Padek Rajo Adat, Tiang Panjang dan sebagainya. Sedangkan susnan lengkapnya disesuaikan yang telah ada dan hidup dalam setiap Nagari.
b) Datuk kaampek suku ialah jabatan adat yang turun temurun dalam suku pada
     Nagari yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan pada Bodi Caniago
      disebut Pangku Tuo Nagari.
c) Panghulu andiko ialah fungsional adat dalam sebuah kaum pada setiap     
Nagari.
                        d) Urang ampek jinih ialah fungsional adat yang turun temurun sebagai
                             kelengkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, yaitu penghulu,
 manti, malin dan dubalang dalam suku pada Nagari menganut sistem Koto
 Piliang sedangkan pada sistem Bodi Caniago tidak turun temurun atau disebut
 dengan gadang balego. Selanjutnya penjelasan ayat 3 disebutkan bahwa untuk   
 memimpin KAN dikukuhkan
 pimpinan KAN yang telah ada menurut sepanjang adat yang berlaku pada  
 setiap Nagari.Bilamana dalam hal tertentu, terdapat kesulitan dalam 
 pengukuhan pimpinan yang ada sepanjang adat, maka untuk menjalankan 
 fungsi KAN dimaksud, dapat dipilih orang lain yang lebih memenuhi syarat- 
 syarat oleh kerapatan dalam sidang pleno KAN. 
                         Pasal 5 Perda Nomor 3 Tahun 1983 menyebutkan bahwa:
1) Susunan KAN diatur dan ditetapkan serta disesuaikan dengan susunan yang  
     telah ada dan hidup pada tiap- tiap Nagari di Sumatera Barat.
2) Pimpinan KAN ditetapkan dengan musyawarah sepanjang adat dan  
     disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah melalui Bupati/ Kepala    
     Daerah.
      Penjelasan Pasal 5 ayat 1 mengatakan bahwa konsekuensi logis dari   
      penjelasanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di   
      Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat adalah:
a) Beralihnya kedudukan pemerintah terendah yang langsung di bawah Camat  
dariNagari kepada Desa.
b) Perlu diatur Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat oleh lembaga   
Yang bernama KAN. KAN mempunyai sekretariat yang dipimpin oleh seorang Kepala Tata Usaha yang disebut Manti Nagari. Manti Nagari dipilih oleh dan dari seorang anggota KAN dan Manti Nagari bertanggungjawab kepada Ketua dan atau Pucuk adat KAN ( Pasal 6 Perda Nomor 13 Tahun 1983).
Pasal 9 Perda Nomor 13 Tahun 1983 menyebutkan bahwa, sekretariat KAN
mempunyai tugas mengatur dan menyelenggarakan Ketatausahaan Nagari yang meliputi
urusan:
1) Perdamaian adat.
2) Pembinaan dan pengembangan adat
3) Harta kekayaan Nagari
4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat Nagari
5) Keuangan Nagari
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kemungkinan kembali pembentukkan Pemerintahan Nagari
2. Fungsi KAN
Menurut ketentuan adat Minangkabau, KAN merupakan peradilan adat menurut
adat. Pengertian peadilan adat menurut adat disini adalah suatu proses, cara, mengadili dan menyelesaikan secara damai yang dilakukan oleh sejenis badan atau lembaga di luar pengadilan Negara seperti diatur dalam Undang- Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970. Di daerah Sumatera Barat atau yang lebih dikenal dengan Alam Minangkabau, peradilan menurut adat telah lama ada, dimulai sejak zaman pra Minangkabau sebelum berdiri kerajaan Pagaruyung.
    Pasal 3 ayat 1 Perda Nomor 13 Tahun 1983 mengatur tentang fungsi Negara sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:
1) Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan
     pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.
2) Mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat di dalam Nagari.
3) Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal- hal yang
    menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari guna kepentingan hubungan
    keperdataan adat juga di dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata.
4) Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai- nilai adat minangkabau
    dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
    Minangkabau pada khususnya.
5) Menjaga, memelihara, memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan
    masyarakat Nagari. 


C. Dasar hukum berdirinya kelembagaan adat nagari
Dalam peraturan daerah nomor 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai kesatuan masyarakat hokum adat yang berfungsi dalam membantu pemerintah demi melancarkan pelaksanaan pelaksanaan pembangunan di segala bidang,
mengurus urusan hukum adat dan istiadat. Memberikan kedudukan hukum menurut hukumadat terhadap hal- hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari, menyelenggarakan pembinaan dan mengembangkan nilai- nilai adat Minangkabau serta menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari. Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-pemuka masyarakat yang dianggap patut, maka di Nagari dibentuklah Kerapatan Adat Nagari yang keanggotaannya terdiri dari ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai” (pemuka masyarakat, alim ulama dan kaum terpelajar) mereka ini terkenal dengan nama Tali tigo sapilin atau tigi tungku sajarangan (ketiga kelompok orang tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya ditengah- tengah masyarakat Nagari), yang mewakili sukusuku dan jorong- jorong yang jumlah anggotanya disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing Nagari yang bersangkutan.
Keputusan- keputusan Kerapatan Adat Nagari menjadi pedoman bagi Kepala
Desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat Nagari dan aparat Pemerintah
dan berkewajiban membantu, mengegakkan sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan dan Perundang- Undangan yang berlaku.
D. Jenis dan penyelesaian sengketa adat oleh kelembagaan adat nagari di minangkabau
1. Jenis sengketa di Minangkabau 
a. Sengketa mengenai gelar (sako)
      Sengketa mengenai gelar (sako) adalah sengketa yang berkaitan dengan gelar   
      yang diterima secara turun temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya adalah  
     sebagai kepala kaum- kepala adat (penghulu) dan sako ini sifatnya turun temurun  
     semenjak dahulu sampai sekarang, menurut garis ibu sampai ke bawah.
b. Sengketa mengenai harta pusaka (pusako)
     Sengketa mengenai harta pusaka (pusako) ialah sengketa yang berkaitan dengan
     harta pusaka tinggi, seperti sawah, ladang, benda buatan , labuah tapian, rumah  
     tanggo, pandam, pakuburan, hutan, yang yang belum diolah. Sengketa mengenai   
     perdata lainnya adalah terjadi antara keluarga masyarakat, seperti perkawinan,  
     perceraian dan lain sebagainya.
c. Sengketa perdata lainnya.
2. Penyelesaian sengketa adat oleh KAN 
Menurut hukum adat Minangkabau, bila terjadi sengketa/ perselisihan dalam suatu kaum maka penyelesaiannya dilakukan dalam suatu musyawarah diantara anggota kaum yang dipimpin oleh mamak kepala kaumyang berakhir pada KAN Prinsip utama pengambilan keputusan di Minangkabau, baik dalam situasi sengketa 
maupun non sengketa. Termaksud di dalam tiga pepatah tersebut. Pepatah pertama, merujuk kepada persyaratan bahwa pengambilan keputusan harus dibuat melalui proses musyawarah menuju mufakat. Keputusan yang benar hanya terjadi apabila sakato atau mufakat telah tercapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan- persoalan yang harus diselesaikan.
Pepatah kedua, penghulu sebagai pimpinan, tetapi dia tidak bisa berbuat seenaknya saja, sebab ia tunduk pada mufakat anggota KAN. Kata mufakat hanya bisa dicapai apabila orang menerima nilai- nilai abstrak tertentu misalnya akal sehat dan kepatutan, apa yang mungkin akhirnya kebenaran.
Pepatah ketiga, menentukan prinsip- prinsip yang menentukan peringkat- peringkat pengambilan keputusan. Ia menyebutkan seseorang hendak mencoba mengambil keputusan pada tingkat yang serendah mungkin, proses itu harus dimulai dari dasar anak tangga dan tidak boleh anak tangga yang dilewati. Apabila keputusan telah mencapai tingkat tertentu, keputusan ituharus ditirunkan kembali melalui anak tangga kepada para pihak yang bersengketa. 
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa proses penyelesaian sengketa adat terutama
sengketa mengenai gelar adat (sako) dan sengketa mengenai pusaka (pusako) menurut hukum adat minangkabau, dilakukan menurut sepanjang adat yakni berjenjang naikbertangga turun, dimulai dengan Kerapatan Adat Kaum, Kerapatan Adat Suku, dan berakhir pada KAN..











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud  dengan lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau adalah lembaga adat yang meliputi rumah gadang, mamak suku, lembaga kerapatan adat MInangkabau dan nagari. Lembaga adat minangkabau ini pada dasarnya memiliki fungsi sosial yang memiliki pengaruh, dan merupakan suatu kebutuhan mutlak serta mutlak adanya untuk berlangsungnya secata terintegrasi terhadap adat, setrukutur sosial dan pranata sosial yang ada didalam lingkungan masyarakat minangkabau. Oleh karena itu lembaga adat minang kabau ini memiliki peran dan fugsinya menjaga tata tertip kemasyarakatan melalui system pengendalian sosial yang bersifat memaksa yaitu hokum adat dalam bentuk” cupak nan duo, kato nan ampek, undang-undang nan ampek, dan nagari non ampek” untuk melaksanakan peran dan fungsinya diatas lembaga adat Minangkabau di sokong oleh suatu system alat kekuasaan seperti adanya manti, dubalang, malim, yang diorganisisr oleh lembaga kerapatan adat minangkabau dalam nagari. Dalam lembaga adat minang kabau ini terdapat adanya kewajiban anggota kaum kerabat dalam kaum atau sukunya untuk menaati system kekerabatan yang diatur secara stuktural kedalam lembaga adat minang kabau yang menyebabkan adaya daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat minangkabau itu.  
B. Saran
Apabila ditilik peran dan fungsi lembaga adat minangkabau ini secara keseluruhan yang menggambarkan adanya identitas system sosial dan budaya masyarakat minangkabau, maka diserahkan agar pemerintah dan masyarakat minangkabau tetap mempertahankan system kelembagaan adat yang terintegrasi itu. Sebab, jika tidak demikian, maka dikuatirkan suatu ketika masyarakat minangkabau kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat Minangkabau. 










DAFTAR PUSTAKA


Kato, Tsuyoshi, (2005), Adat Minangkabau dan merantau dalam perseptif sejarah, PT Balai Puataka, ISBN 978- 979-690-360-3.

Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A.Dt.,(1959), Tambo Minangkabau dan adatnya, Jakarta: Balai pustaka.

L C Westenek de Minangkabausche Nagari, penerbit dan bursa buku fakultas hukum  dan universitas andales, 1981, hlm. 85

Idrus hakimi, Op. Cit, hlm.80

Keebert  von Benda – Beckmann, Goyahnya tangga menuju mufakat peradilan nagari dan peradilan negeri di minangkabau, Grafindo, Jakarta, 2000, hlm. 2

Selasa, 19 November 2019

DASAR AKSIOLOGI KEILMUAN

DASAR AKSIOLOGI KEILMUAN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakil Anam, M.Pd.









Disusun Oleh:
Buana Adi Kurnia Caromalela 63020180005
Wina Yulianti 63020180041
Khoirun Nissa Afina 63020180064

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2019
 
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu ini tepat pada waktunya. Tak lupa sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di yaumul akhir nanti. 
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang sudah ikut membantu menyusun makalah ini dengan baik. Kami berharap semoga dengan makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga kami mengharapkan kritik serta saran membangun demi terciptanya makalah yang jauh lebik baik lagi.

Salatiga, 16 November 2019

Penulis








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Hakikat Aksiologi 3
B. Aksiologi-Masalah Nilai 5
C. Kategori Dasar Aksiologi 8
D. Nilai Dan Kegunaan Ilmu (Aksiologi Ilmu) 9
E. Aksilogi Sain dan Aksiologi Filsafat 13
F. Korelasi Antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi 14
BAB III PENUTUP 16
A. Kesimpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18





 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
       Manusia memiliki hasrat dan rasa keingintahuan menjadi alur perjalanan manusia yang tidak kunjung usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam hasil-hasil penelitian dan beragam hipotesa awal manusia terhadap realita kehidupan. Manusia melakukan proses filsafat merupakan salah satu awal dari sejarah perkembangan pemikiran manusia. Hal inilah yang membuktikan dimana manusia dengan daya pikirnya berusaha untuk mencari, meneliti, mengamati, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian selama hidupnya.
Lantas keberadaan manusia dengan pemahaman untuk mencapai rasa keingintahuan tersebut, muncul berbagai pengetahuan, baik yang berasal dari indrawi maupun intuisi. Pengetahuan tidak lepas dari ranah kebenaran secara ilmiah yang kemudian akan melahirkan berbagai disiplin-disiplin ilmu dalam kajian ilmu filsafat. Konsep manusia dengan segala keingintahuan dibuktikan dengan berbagai upaya bahkan diharuskan dengan metode yang ilmiah jika kebenaran yang diperolehnya akan fasih bagi kehidupan manusia seutuhnya. Ilmu pengetahuan dengan kebenarannya tersebut diharapkan menjadi bekal kehidupan manusia serta harus memiliki dampak dan pengaruh yang positif bagi manusia itu sendiri.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang mempelajari tentang Aksiologi yang sangat berguna untuk berfilsafat. Keingintahuan adalah salah satu pemicu kita untuk berfilsafat, dan begitu juga dengan keragu-ragu’an, filsafat merupakan pemikiran secara rasional Jika mempelajari Aksiologi maka kita telah mempelajari sebagian cara berfilsafat, dimana berfilsafat itu sangat penting dan jika kita tidak berfilsafat kita tidak akan maju, itu dalam artian berfilsafat adalah berfikir secara abstrak.  

B. Rumusan Masalah     
Adapun rumusan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah :
1. Apakah Aksiologi itu ?
2. Bagaimana Aksiologi- Masalah Nilai?
3. Bagaimana Kategori Dasar dalam Aksiologi?
4. Bagaimana Nilai dan Kegunaan Ilmu (Aksiologi Ilmu)?
5. Bagaimana dengan Aksiologi Sain dan Aksiologi Filsafat?
6. Bagaimana Korelasi antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi itu ? 

C. Tujuan
       Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar kita mengetahui apa itu Aksiologi.
2. Agar kita mengetahui tentang Aksiologi-Masalah Nilai.
3. Agar Kita mengetahui Kategori Dasar dalam Aksiologi.
4. Agar kita mengetahui milai dan kegunaan ilmu (aksiologi ilmu).
5. Agar kita mengetahui antara aksiologi sain dan aksiologi filsafat.
6. Agar kita mengetahui korelasi antara filsafat ilmu dengan aksiologi.
 
 





BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Aksiologi
Aksiologi berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut dan Logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori tentang nilai". Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian : Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.  
Menurut John Sinclair, lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama. Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. 
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan. 
Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. 
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan . Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.








B. Aksiologi – Masalah Nilai
Apakah yang-baik itu?
Bersama dengan filusuf-filusuf yang lain, socrates berpendapat bahwa masalah yang pokok adalah kesusilaan, tetapi semenjak masa hidup socrates masalah hakikat yang-baik senantiasa menarik banyak kalangan dan dipandang bersifat hakiki serta penting untuk dapat mengenal manusia. Kattsoff mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu. 
Makna yang dikandung oleh “Nilai” dan “Yang-Baik”?
Kata “baik dipakai dalam arti yang berbeda-beda dalam masing-masing pernyata’an, seperti“ini pisau baik”, sudah pasti yang saya maksudkan berbeda apabila saya mengatakan “pisau merupakan sesuatu yang baik”. Contoh lain “pembelian yang baik”, berarti pembelian yang didalamnya  Nilai uang yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan dengan Nilai barang yang dibelinya, dengan kata lain penulis dapat menyimpulkan bahwa “Yang-Baik” itu merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat unsur yang bermanfaat bagi seseorang.
1. Nilai Merupakan Kualitas Empiris Yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain, kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang tersebut dan dapat membantu melukiskanya. Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat diketahui melalui pengalaman. Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman.
Jika Nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas Nilai-Nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya. Contoh “pisang itu kuning” tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa “kuning itu pisang”, karna kuning bermacam-macam. Kenyataan bahwa Nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti Nilai tidak dapat dipahami. Nilai bersifat subyektif, contoh si A mengatakan bahwa “si gadis itu cantik”, tapi si B mengatakan bahwa “si gadis itu jelek”
2. Nilai Sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Ada yang mengatakan bahwa masalah Nilai sesungguhnya merupakan masalah pengutamaan. Contoh ungkapan “perang merupakan suatu keburukan” kiranya diiringi oleh tanggapan ”saya menentang perang”. Pandangan orang Amerika dalam bukunya bahwa jika saya mengatakan “x berNilai” maka dalam arti yang sama saya dapat mengatakan “ saya mempunyai kepentingan pada x”. Sikap setuju atau menentang tersebut oleh Perry ditunjuk dengan istilah “kepentingan”.
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan. Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal tersebut mempunyai Nilai,jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan. 
3. Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Sejumlah hal yang telah saya perbincangkan yang bersifat penolakan terhadap teori Nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya teori lain, yaitu Teori Pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya dengan teori pragmatisme mengenai Nilai. Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap bernilai.
4. Nilai Sebagai Esensi
Sesungguhnya Nilai-Nilai merupakan hasil ciptaan yang-tahu (subyek yang mengetahui). Jika Nilai merupakan Nilai karena kita yang menciptakannya, maka tentu kita akan dapat membuat baik menjadi buruk dan sebaliknya. Esensi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok utama, hakikat. Contoh “Perdamaian merupakan sesuatu yang bernilai”, maka ia memahami bahwa di dalam hakekat perdamaian itu sendiri terdapat Nilai yang mendasarinya. Jadi penulis menyimpulkan Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu tersebut. Esensi tidak dapat di tangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa nilai tidak dapat di lakukan sebagaimana kita memahami warna. 


C. Kategori Dasar Aksiologi
Menurut Susanto mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu di mana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif. Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran objektivis, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektivis. 
1. Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai itu melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai faktabahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori Nilai Alamiah (The Naturalistic Theory of Value)
Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bias diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia. 

D. Nilai Dan Kegunaan Ilmu (Aksiologi Ilmu)
Erliana Hasan  mengatakan,  bahwa nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan penting dalam filsafat ilmu, disamping itu digunakan juga untuk menunjuk kata benda yang abstrak dan dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Menilai berarti menimbang, yakni suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan ini menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif atau sebaliknya. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaannya. Dengan demikian, nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku.
Kata “Nilai” merupakan kata jenis yang meliputi segenap macam kebaikan dan sejumlah hal yang lain. Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.        
Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi value and valuation ada tiga bentuk:
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. 
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperi estetis dari suatu karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri,sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. 
Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal itu secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dari definisi mengenai aksiologi yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar menyimpulkan, bahwa permasalahan yang utama dalam aksiologi yaitu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.   
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Selanjutnya dikatakan Surajiyo, pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristikkritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu, masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah membawa manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia, bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak sangat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal sebagaimana dikemukakan Idzan Fautanu, yaitu: 
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori filsafat ilmu. 
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya yaitu untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana, maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

E. Aksiologi Sains dan Aksiologi Filsafat
1. Aksiologi Sains
a. Kegunaan pengetahuan sains
Apa guna atau nilai dari Sains? secara umum teori berarti pendapat yang beralasan, sekurang-kurangnya kegunaan teori Sains ada tiga yakni:
1) Sebagai alat membuat eksplanasi
Menurut teori Sains anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
2) Teori sebagai alat peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu, dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa ilmuwan ramalan itu di sebut prediksi.
3) Teori sebagai alat pengontrol
Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi anak-anak mereka akan nakal. Adakah upaya agar anak-anak nakal ?  Ada, upaya itulah yang di sebut kontrol.
b. cara sain menyelesaikan masalah
Adapun caranya adalah :
1) Mengidentifikasi masalah.
2) Mencari penyebab terjadinya masalah tersebut.
3) Mencari cara untuk memperbaiki masalah.
c. Netralitas Sain, Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.
2. Aksiologi  Filsafat
a. Kegunaan pengetahuan filsafat.
Adapun kegunaanya adalah:
1) Fisafat sebagai kumpulan teori filsafat
2) Sebagai metode pemecah masalah
3) Sebagai pandangan hidup.
b. Cara filsafat menyelesaikan masalah
Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti filsafat ingin, masalah dilihat dalam hubungan seluas-luasnya. 

F. Korelasi Antara Filsafat Ilmu dan Aksiologi
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolok ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum yaitu terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis, agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, teatpi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabilasubjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolok ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih ringan. 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Nilai dalam Aksiologi terbagi mejadi 4 yaitu : nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, nilai sebagai obyek suatu kepentingan, teori pragmatis mengenai nilai dan nilai sebagai esensi
Menurut Susanto mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu di mana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif.
Nilai dalam aksilogi ada tiga bentuk, yaitu : Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, nilai sebagai kata benda konkret dan nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai.  Aksiologi juga mempunyai kegunaan antara lain : filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran, filsafat sebagai pandangan hidup dan filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Aksiologi sain mempunyai kegunaan yaitu : Sebagai alat membuat eksplanasi, teori sebagai alat peramal dan teori sebagai alat pengontrol. Sedangkan aksiologi filfasaf kegunaannya yaitu : fisafat sebagai kumpulan teori filsafat, sebagai metode pemecah masalah, sebagai pandangan hidup.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, teatpi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabilasubjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolok ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih ringan.


B. Saran
Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon ma’af apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum sempurna, untuk itu sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari buku-buku atau sumber-sumber yang semacamnya.




DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana.
Margono, Soejono Soe. 1986. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sudibyo, Lies, Bambang Triyanto dan meidawati Suswandari. 2014. Filsafat Ilmu.  Yogyakarta: Deepublish.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia.. Jakarta : Bumi Aksasara.
Tafsir, Ahmad. 2014. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Falsafah DALIHAN NA TOLU (TUNGKU BERTIGA) DALAM MASYARAKAT BATAK DI SUMATERA BARAT

FALSAFAH 
DALIHAN NA TOLU (TUNGKU BERTIGA) 
DALAM MASYARAKAT BATAK 
DI SUMATERA BARAT
Dosen Pengampu : Nur Edi Prabha Susila Yahya. S.TH.I., M.Ag.

 

Disusun Oleh :
Kelompok 08
Halaman Judul
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala Puji dan Syukur selalu senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena setiap curahan rahmat serta anugerah-Nya, sehingga kami dapat menyelsaikan makalah Islam Keindonesiaan dengan judul “ Falsafah Dalihan Na Tolu (Tungku Bertiga) Dalam Masyarakat Batak Di Sumatera Barat ” . Kami berharap sekali makalah ini bisa berguna pada tujuan untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait dengan judul tersebut.
Lewat makalah ini, beragam tantangan telah penulis rasakan, oleh sebab itu, selesainya makalah ini tentu saja bukan hanya sekedar kerja keras dari penulis semata-mata. Tetapi karena bantuan dan dukungan yang diberikan oleh segenap pihak yang terlibat. Berkaitan dengan perihal ini, penulis disertai keikhlasan hati menghaturkan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk semua pihak yang telah membantu penulis untuk penyelesaian makalah Islam Keindonesiaan Ilmu ini. 
Terkait membuat makalah Islam Keindonesiaan ini, kami benar benar menyadari ditemukan banyak keterbatasan yang ada pada makalah ini. Dengan itu, kami sungguh-sungguh meminta saran beserta kritik yang membangun dari segenap pihak supaya makalah ini lebih baik lagi dan dapat berguna dikemudian hari.

Wassalamualaikum Wr. Wb. 
DAFTAR ISI


Halaman Judul i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN iv
A. Latar belakang iv
B. Rumusan Masalah v
C. Tujuan Penulisan v
BAB II PEMBAHASAN 1
A. Definisi Dalihan Na Tolu 1
B. Adat istiadat 2
C. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu 5
D. Penerapan Dalihan Na Tolu dalam suku batak 8
BAB III PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11

BAB I 
PENDAHULUAN 
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar belakang
Dalihan Na Tolu adalah nilai budaya yang menjadi sumber dari tingkah laku suku Batak dalam kehidupan bersosial budaya. Nilai budaya dan aturan merupakan pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tersebut antara lain menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, dan seterusnya sampai pada hubungan antar individu dengan individu dan kelompok baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Dalam bersosial budaya suku batak menganut sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan yang dimaksud dalam tatanan sosial adalah pola tingkah laku berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang menyatu secara terpadu dalam wujud ideal dan fisik kebudayaan. Suku Batak menerapkan sistem kekerabatan dalihan na tolu, Dalihan na tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. 
Orang Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu posisi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan dalam tatanan sosialnya. Sehingga kekerabatan yang ada dalam dalihan na tolu ditelusuri dari pihak keluarga bapak/suami. Dalihan na tolu dikategorikan sebagai modal sosial yang menyemangati etnis Batak Angkola untuk berinteraksi dalam pelaksanaan adat. Dalihan na tolu erat kaitannya dengan sistem kekerabatan, nilai sosial dan nilai agama. Agama yang dianut oleh etnis Batak Angkola adalah mayoritas menganut agama Islam. Dari sisi adat, kehidupan masyarakat Batak Angkola ditata oleh sistem dalihan na tolu, yaitu pertautan tiga (tolu) unsur kekerabatan; kahanggi (teman semarga), anak boru (kelompok pengambil istri) dan mora (pihak pemberi istri). Dalihan na tolu dianalogikan dengan tiga tungku, yang biasanya batu dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Dan jarak antara ketiga batu tersebut sama. Sehingga ketiganya dapat menyangga secara kokoh alat memasak diatasnya. Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga tungku secara bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama, atau sebagai kerja bersama. Karena itu dalihan na tolu disimbolkan dengan tiga tungku, bertujuan untuk menunjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga unsur tersebut disetiap aktivitas. Sebagai sistem kekerabatan, dalihan na tolu dijadikan pedoman berkomunikasi (berbahasa dan tutur), bertindak dan menyelesaikan masalah sosial. Dan dalam keyakinan keagamaannya juga menjadi norma kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari terjadi interaksi interdependensi antara adat dan agama baik disadari maupun tidak. Dalam pelaksanaan prinsip dalihan na tolu dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Dan sistem dalihan na tolu ini lebih sering digunakan dalam upacara (horja), baik upacara siriaon yang meliputi upacara perkawinan dan kelahiran dan upacara silulutan yang meliputi peristiwa kematian dan musibah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Dalihan Na Tolu ?
2. Bagaimana adat istiadatnya ?
3. Apa saja unsur dalam dalihan Na tolu ?
4. Bagaimana penerapannya dalam suku Batak di Sumatera Barat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Dalihan Na Tolu
2. Untuk mengetahui adat istiadat Dalihan Na Tolu 
3. Untuk mengetahui unsur dalam Dalihan Na Tolu 
4. Untuk mengetahui penerapannya dalam suku Batak di Sumatera Barat  
BAB II
PEMBAHASAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Dalihan Na Tolu
Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, Na artinya “yang”, tolu artinya “tiga”. Dalihan na tolu artinya tiga tiang tungku yang dibuat dari batu ditata dengan sedemikian rupa sehinggga bentuknya menjadi bulat panjang. Ketiga tungku memiliki panjang kaki 10 cm, panjang lebih kurang 30 cm dan diameter lebih kurang 12 cm ditanamkan berdekatan didapur yang disediakan dari papan tempat persegi panjang berisi tanah liat yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tersebut berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Besar dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga simetris satu sama lain, dan tingginya sama dan harmonis.
Dalihan na tolu bukan sekedar tungku nan tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Apabila salah satu diantara ketiga tungku rusak, masakan diatasnya akan tumpah. Karena itulah ketiga unsur harus dijaga agar tidak ada yang rusak, semuanya harus utuh agar kuat menyangga tungku. 
Dalihan na tolu menjadi pranata sosial dan dasar interaksi antar suku Batak dalam bertutur kata, panggilan dan cara bersikap, juga menunjukkan sistem kekerabatan Batak Angkola. Hak dan kewajiban dalam perkawinan, kelahiran, kematian, serta kedudukan seseorang dalam adat ditata dalam dalihan na tolu. Hubungan antara anak boru, mora, dan kahanggi (dalihan na tolu) tampak jelas dalam upacara-upacara adat dan penyelesaian pertikaian dalam masyarakat Batak.
Dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu berfungsi untuk menciptakan integrasi melalui perkawinan. Selain itu, fungsi dalihan na tolu merupakan pengenalan garis keturunan dan mengatur ketertiban dan jalannya pelaksaan tutur pada setiap individu masyarakat Batak, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat. Secara singkat, dalihan na tolu mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga, nilai tersebut diaplikasikan dalam bentuk sosial adat dalihan na tolu. 
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa dalam sistem sosial dalihan na tolu bagi suku Batak memiliki nilai filosofi yang penting, yaitu: 
1. menentukan kedudukan, hak, dan kewajiban seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, 
2. mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam kehidupan adat masyarakat, dan 
3. menjadi dasar untuk bermasyarakat dan mufakat masyarakat Batak. 

Pembagian berdasarkan sistem dalihan na tolu bukanlah sebagai pembagian kelompok sosial berdasarkan status, melainkan pembagian berdasarkan hubungan perkawinan yang dikaitkan dengan tempat dan situasi saat tertentu. Sebagaimana apa yang dikatakan A.G.P. Batubara bahwa dalihan na tolu sebagai suatu filsafat sosial yang tidak memutlakkkan status seseorang, terkadang menjadi Mora, pada kesempatan lain sebagai kahanggi dan mungkin sebagai anak boru. Ini menggambakan sistem sosial yang sangat demokratis. 
B. Adat istiadat
Adat budaya Dalihan Na Tolu Menurut T.M.Sihombing Dalihan Na Tolu atau yang sering disebut dengan “Tungku nan Tiga” adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Sedangkan menurut Kamus Budaya Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu adalah dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Batak, yang terdiri dari tiga unsur atau kerangka yang merupakan kesatuan yang tak terpisah (Marbun dan Hutapea, 1987: 37). 
Kelompok adat Dalihan Na Tolu terdapat pada semua suku Batak, walaupun istilahnya berbeda-beda namun maknanya sama. Pada masyarakat Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu, dengan unsur-unsur Dongan Sabutuha, Hula-hula, dan Boru. Pada masyarakat Mandailing juga disebut Dalihan Na Tolu, yang unsur-unsurnya terdiri dari Kahanggi yaitu keluarga semarga atau sedarah, Mora yaitu keluarga pihak istri (yang memberi istri), Boru yaitu keluarga yang mengambil istri atau keluarga menantu laki-laki. Pada 21 masyarakat Batak Karo disebut Sangkep Si Telu, yang terdiri dari Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru. Kemudian pada masyarakat Batak Simalungun disebut Tolu Sahundulan yang terdiri dari Tondong, Senina, dan Boru (Diapari dalam Sigalingging, 2000: 12). 
Istilah Dalihan Na Tolu berasal dari kata Dalihan yang artinya Tungku dan Na Tolu berarti Nan Tiga. Jadi dalam hal ini ada tiga buah batu yang membentuk satu tungku. Tungku yang terdiri dari tiga batu tersebut adalah landasan atau dasar, tempat meletakkan dengan kokoh periuk untuk memasak. Suatu tungku baru dapat disebut tungku yang sederhana dan praktis bila terdiri dari tiga buah batu yang membentuk suatu kesatuan atau tritunggal. Hal inilah yang menjadi kesamaan bentuk kesatuan tritunggal pada suku Batak yang terdiri dari 3 unsur hubungan kekeluargaan. Banyak sekali tritunggal, namun tritunggal ketiga batu tungkulah yang dijadikan orang Batak menjadi simbol hubungan kekeluargaanya. Misalnya: Seorang anggota masyarakat pada suatu waktu atau situasi tertentu dapat menduduki posisi sebagai boru, pada kesempatan yang lain menduduki posisi hula-hula, dan atau sebagai dongan sabutuha. Dengan kata lain, setiap orang akan dapat terlibat dalam posisi sebagai boru, sebagai hulahula, atau sebagai dongan sabutuha terhadap orang lain (Sigalingging, 2000: 10). 
Unsur-unsur Dalihan Na Tolu yang terdiri dari dongan sabutuha, hula-hula, dan boru harus kompak, bersatu dalam setiap kegiatan baik dalam menghadapi kebahagiaan seperti perkawinan maupun dalam kesusahan atau kemalangan. Orang Batak berkeyakinan kesejahteraan dan kebahagiaan akan terwujud apabila ketiga unsur fungsional Dalihan Na Tolu bersatu sebagaimana halnya dengan eksistensi manusia yang terdiri dari tiga unsur, yaitu hosa (nafas), mudar (darah), dan sibuk (daging). (Sigalingging, 2000: 12) 
Menurut orang Batak, tungku mempunyai kesamaan (analogi) dengan hubungan kekeluargaan. Persamaannya secara terperinci adalah sebagai berikut : 
1. Tungku tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Manusia memerlukan makanan untuk hidup. Berbicara tentang makanan, selalu terkait dengan dalihan (tungku) yaitu alat untuk memasak makanan. Selain itu tungku mempunyai fungsi yang lain yaitu tempat untuk berdiang menghangatkan tubuh dari udara dingin. Oleh karena itu pada masa lalu, manusia tidak dapat hidup wajar (di Toba) tanpa adanya dalihan (tungku). Falsafah Batak tentang tungku tercermin dalam ungkapan berikut ini: Si dua uli songon na mangkaol dalihan, Masak sipanganon huhut malum na ngalian. Artinya: Memeluk (mempergunakan) tungku memberi keuntungan yaitu makanan masak, dan hilang perasaan dingin. Dalihan Na Tolu adalah falsafah yang melandasi hubungan sosial masyarakat Batak. Dengan berpedoman pada Dalihan Na Tolu, segera dapat ditentukan status, fungsi, dan sikap sosialnya dalam berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya. 
2. Dalihan Na Tolu atau Tungku nan Tiga, ketiga batu tungku sebagai satu kesatuan adalah landasan atau dasar tempat meletakkan dengan kokoh periuk untuk menanak atau memasak lainnya, sehingga tidak ada isi periuk yang tumpah dan dapat masak dengan sempurna. Demikian dengan halnya Dalihan Na Tolu, berfungsi dengan sempurna menopang masyarakat Batak secara penuh keseimbangan. Kalau ada persoalan seperti kemalangan atau musibah, akan ditopang dan ditanggulangi oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu secara bersama-sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sehingga beban yang berat akibat musibah atau kemalangan dapat teratasi dengan baik. 
3. Untuk memanaskan atau memasak harus ada api. Api yang ada di tungku harus tetap menyala, agar tungku tersebut dapat berfungsi dan bermanfaat dengan sempurna. Api yang menghidupkan hubungan sosial dan solidaritas sesama orang Batak adalah marga. Dongan sabutuha, hula-hula, dan boru yang merupakan unsur Dalihan Na Tolu, merupakan suatu lembaga adat atau dewan musyawarah yang akan menentukan segala hal dalam kelompoknya. 
Dalihan Na Tolu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan semua konflik yang terjadi di kelompoknya melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat ataupun rapat warga. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu dapat berfungsi sebagai mediator diantara dua pihak yang sedang berkonflik. Tetapi jika mediasi ini mengalami kegagalan, maka hula-hula dapat bertindak sebagai arbitrator yang menyelesaikan konflik dengan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan yang bersifat memaksa (Basyaral Hamidi dalam Sigalingging, 2000: 17).  
C. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu 
1. Hula-hula / Mora 
Hula-hula adalah pihak pemberi anak gadis. Dalam arti sempit, hula-hula itu adalah orang tua dari isteri. Sedangkan dalam arti yang luas adalah semua pihak yang semarga dengan orang tua istri. Pihak hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat, sehingga harus disembah dan dihormati sekali oleh pihak boru. Hal ini sehubungan dengan bunyi pepatah “Hula-hula i do Debata na niida” Artinya : “ Pihak pemberi anak gadis itu adalah merupakan wakil Tuhan yang kelihatan. Sehingga segala doa serta restu dari pihak hula-hula ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dari pihak boru mereka. 
Pihak hula-hula menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Batak. Penghormatan tersebut harus selalu di tunjukan dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Orang Batak harus Somba marhula-hula, yang berarti harus bersikap sujud, tunduk, serta patuh terhadap hula-hula. Keputusan hula-hula dalam musyawarah adat sulit ditentang (Marbun dan Hutapea, 1987: 61). 
2. Dongan Tubu/ Kahanggi (Dongan Sabutuha Dongan tubu) 
Merupakan kelompok kerabat yang semarga yang berdasarkan garis keturunan Ayah. Dongan tubu dalam pergaulan seharihari adalah teman sependeritaan dan seperasaan di dalam suka maupun duka. Di dalam hal adat, pihak Dongan tubu ini adalah teman saparadatan (satu adat), sehingga sewaktu menerima dan membayar adat, mereka secara bersama-sama menghadapi serta menanggung segala resiko (Sitanggang, 1986: 40). Sedangkan menurut Marbun dongan tubu adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, Manat Mardongan Tubu (harus hati-hati terhadap sesama teman semarga). Para pemuda Batak yang merantau ke daerah lain, selalu mempunyai keyakinan dalam dirinya, bahwa saudaranya semarga di perantauan akan memberikan bantuan jika seandainya dia mengalami kesulitan. Memang rasa solidaritas dan persaudaraan dikalangan masyarakat Batak sangat kuat, meskipun mereka jauh dari daerah asalnya. Hal ini sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat Batak, yang tercermin dalam pepatah “Tali papaut, tali panggoman Taripar Laut, sai tinanda do rupa ni dongan” Artinya: Sekalipun menyeberangi laut, namun kita tetap mengenal dongan sabutuha (teman seperut) atau teman semarga (Sihombing, T.M., 1986: 75). 
3. Boru atau anak Boru Boru 
Merupakan pihak yang menerima anak gadis (boru). Setiap pihak boru harus berlaku hormat kepada pihak hula-hulanya. Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek Marboru (harus selalu bersifat membujuk terhadap pihak penerima anak gadis).  
Menurut orang Batak, boru ada dua macam yaitu hela atau suami putri kita (menantu), dan bere atau anak saudara perempuan kita yang menurut adat Batak masuk unsur boru mengikuti ibunya. Jika ditinjau secara kekeluargaan, hela atau menantu lebih dekat kepada kita dari pada bere. Tetapi jika ditinjau dari hubungan darah, maka bere lebih dekat kepada kita dari pada hela. Tentang bere berlaku semboyan: Sekali Bere, tetap Bere. Semboyan ini tidak berlaku pada bagi hela. Seorang menantu atau hela pada suatu saat bisa tidak menjadi hela, mana kala terjadi perceraian dengan putri kita. Oleh karena itu hela tidak bersifat tetap sebagaimana halnya dengan bere (Sihombing, T.M., 1986: 77). 
Menurut adat Batak, boru berkewajiban membantu hula-hulanya dalam segala hal, terutama dalam pekerjaan adat. Adat Batak memperkenankan hula-hula untuk menerima sumbangan dari pihak boru. Sedangkan pihak boru akan selalu berusaha agar dapat membantu hula-hulanya, bahkan adakalanya sampai berhutang, asalkan dapat memberi sumbangan kepada hula-hula. Sedangkan pihak hula-hula akan memberikan imbalan kepada pihak boru sebagai tanda kasih sayang (Sigalingging, 2000: 17). 
Jadi dengan demikian berarti bahwa bukan hanya pengantin pria atau perempuan itu saja yang menjadi boru, melainkan juga semua keluarga terdekat (teman semarga) dari pengantin pria tersebut. Lebih jelasnya yang dimaksud dengan boru yaitu Putri adalah anak perempuan dan Hela adalah menantu Pria.  
D. Penerapan Dalihan Na Tolu dalam suku batak
Filosofi adat batak yang telah beratus tahun menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat batak tersebut adalah Adat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yang berarti tungku yang berkaki tiga merupakan filosofi kedua dalam kehidupan masyarakat Batak setelah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa berkaki tiga? Hal itu agar supaya terjadi sebuah keseimbangan yang tetap menjaga keharmonisan hubungan dalam tungku kekeluargaan.
Ketiga istilah dalam Dalihan Na Tolu tersebut melekat pada diri setiap orang Batak. Setiap orang Batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu diantara hula-hula, atau berposisi sebagai boru dan atau berposisi sebagai dongan tubu. Hal itu tergantung sebagai apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat dilaksanakan. Contohnya pada sebuah acara perkawinan, saya akan berposisi sebagai hula-hula terhadap saudara perempuan saya, namun dilain pihak saya beserta istri juga akan berposisi sebagai boru terhadap saudara laki-laki dari pihak istri. Dan saya akan berposisi sebagai dongan tubu ketika saya bertemu dengan saudara yang semarga dengan saya.
Meskipun terlihat simple, namun ketika dirunut dalam sebuah pesta besar maka akan sangat sulit dan hanya raja adat dan para orang tualah biasanya yang sudah memahaminya dengan benar. Untuk prosesi pelaksanaan acara adat, selalu disesuaikan fungsi seseorang dalam acara adat tersebut. Terciptanya pola pikir demikian, karena relasi kekerabatan ditata dalam sistem dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun. Apabila melanggar tatanan adat, berarti melanggar petuah leluhur yang berarti pula menentang kehendak masyarakat sekitarnya yang tentu saja dapat menjadi bahan pembicaraan, atau dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya.
Setiap orang Batak dalam sebuah pesta/acara adat pasti akan berposisi diantara salah satunya yaitu mungkin akan melakoni sebagai hula-hula, atau boru atau dongan tubu. Itulah sebabnya diawal saya menyatakannya sebagai sebuah “roda yang berputar“ atau sebagai tungku yang berkaki tiga. Dengan adat yang kompleks seperti itu, Tak salah jika orang Batak disebut sebagai sebuah bangsa karena memiliki dan menjujung adat Dalihan Na Tolu.
Kearifan lokal adat Batak ini sampai sekarang masih tetap terjaga keharmonisannya ditengah keberagaman Indonesia. Bangso Batak selain menjaga keharmonisan Adatnya namun tetap mengutamakan nilai kebhinekaan Indonesia. Bahkan bangso batak dapat dikatakan menjadi katalis yang menjadikan Indonesia juga terkenal di dunia soal keragaman dan keunikan budayanya sehingga budaya lokal batak tersebar kepenjuru dunia lewat orang-orang batak yang merantau. Dengan demikian, kearifan lokal dalihan na tolu nyata memiliki potensi kuat merajut hubungan dengan siapapun.
BAB III
PENUTUP
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 
Dalihan na tolu bukan sekedar tungku nan tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Apabila salah satu diantara ketiga tungku rusak, masakan diatasnya akan tumpah. Karena itulah ketiga unsur harus dijaga agar tidak ada yang rusak, semuanya harus utuh agar kuat menyangga tungku.
Orang Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu posisi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan dalam tatanan sosialnya. Searah dengan ajaran agama islam yaitu posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Relasi kekerabatan, sumber dari aktivitas sehari-hari seperti tingkah laku masyarakat ditata dalam sistem dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun. Dan sistem kekerabatan dalihan na tolu mengajarkan bahwa masyarakat batak harus menghargai posisi orang lain dan bahkan mengajarkan untuk menghargai sesama.
Dalihan Na Tolu adalah falsafah yang melandasi hubungan sosial masyarakat Batak. Dengan berpedoman pada Dalihan Na Tolu, segera dapat ditentukan status, fungsi, dan sikap sosialnya dalam berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Demikian dengan halnya Dalihan Na Tolu, berfungsi dengan sempurna menopang masyarakat Batak secara penuh keseimbangan. Kalau ada persoalan seperti kemalangan atau musibah, akan ditopang dan ditanggulangi oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu secara bersama-sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sehingga beban yang berat akibat musibah atau kemalangan dapat teratasi dengan baik. Dan juga mampu menghidupkan hubungan sosial dan solidaritas sesama orang Batak adalah marga. 
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, D. (2016). Implikasi Sistem Kekerabatan Dalihan Na Tolu (Studi Pada Keluarga Urban Muslim Batak Angkola Di Yogyakarta), . Religi Jurnal Studi Agama-agama, 121-134.
Nainggolan, S. R. (2011). Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak. 24.




Senin, 18 November 2019

Monopoli lanjutan

MAKALAH TEORI EKONOMI MIKRO
MONOPOLI (Lanjutan)

 

Disusun oleh:
1. Khoirun Nissa Afina    (63020180064)
2. Zidny Mufidah    (63020180081)
3. Muhammad Hilmi Dwi Putra    (63020180094)
4. Yahya Chadir Ali    (63010180171)
5. Anik Nur Aisah    (63020180203)



JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019 
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas taufik dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Monopoli (Lanjutan)” ini.
Rasa terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Rifda Nabila, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Ekonomi Mikro yang selalu memberikan dukungan serta bimbingannya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan dari pembaca demi meyempurnakan makalah ini.
Harapan kami semoga penyusunan makalah ini dapat diterima dan dimengerti serta bermanfaat bagi kami dan pembaca.

Salatiga, 26 Oktober 2019 

Penyusun





 
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
BAB I 2
PENDAHULUAN 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
A. Diskriminasi Harga 3
B. Tingkatan- Tingkatan Diskriminasi Harga 5
C. Pemilahan Pasar 7
D. Multiproduct 10
BAB III 13
PENUTUP 14
A. Kesimpulan 14
B. Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15












BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Monopoli merupakan kondisi dimana terdapat perusahaan yang memilikilayanan yang dibutuhkan oleh banyak orang. Sehingga menyebabkan perusahaan tersebut tidak memiliki pesaing (competitor) Perusahaan yang bersifat monopoli umumnya mengambil keuntungan yang maksimal. Dalam mengurangi persaingan, suatu perusahaan memiliki strategi khusus yaitu dengan cara mendiskriminasi harga. Yang mana diskriminasi ini memiliki tiga tingkatan yaitu Tingkat I, II, dan III. Tak hanya diskriminasi, pemilihan pasar juga dilakukan yaitu dengan melihat sasaran pasar yang akan dituju oleh suatu perusahaan.Selain keduanya, multiproduct juga dapat digunakan. Yaitu suatu perusahaan memproduksi banyak produk yang bersifat komplementer dalam produksinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan diskriminasi harga?
2. Apa saja tingkatan-tingkatan diskriminasi harga?
3. Apa yang dimaksud dengan pemilahan pasar?
4. Apa yang dimaksud multiproduct?
C. Tujuan
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan diskriminasi harga
2. Menjelaskan tingkatan-tingkatan diskriminasi harga
3. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemilahan pasar
4. Menjelaskan apa yang dimaksud multiproduct



            BAB II
PEMBAHASAN

A. Diskriminasi Harga
Diskriminasi harga adalah suatu kemampuan monopoli untuk menjual suatu produk yang sama di segmen pasar yang berbeda pada tingkat harga tertentu.  Faktor pendorong bagi perusahaan untuk menerapkan diskriminasi harga cukup sederhana; praktek itu memang bisa memperbesar pendapatan dan laba tanpa mengubah tingkat produksi maupun tingkat penjualan. Pengenaan harga yang berlainan per kosumen atau per unit produk yang disebabkan oleh perbedaan biaya pelayanan (cost of service) tidak termasuk diskriminasi harga. Melainkan diferensiasi harga (price differentiation), yakni perbedaan harga yang semata-mata mencerminkan perbedaan biaya marjinal. 
Tidak semua perusahaan monopoli dapat melakukan diskriminasi harga. Hanya dalam keadaan tertentu diskriminasi harga dapat dijalankan dengan sukses. Berikut ini adalah beberapa keadaan yang memungkinkan perusahaan melakukan diskriminasi harga. 
1. Barang tidak dapat dipindahkan dari satu pasar ke pasar lain. 
Sekiranya terdapat kemungkinan barang dapat dibawa dari pasar yang lebih murah ke pasar yang lebih mahal, maka kebijakan diskriminasi harga tidak akan efektif. Barang dari pasar yang lebih murah akan dijual lagi dipasar yang lebih mahal dan perusahaan tidak dapat menjual lagi barang yang disediakan untuk pasar tesebut.
2. Sifat barang atau jasa itu memungkinkan dilakukan diskriminasi harga.
Barang-barang atau jasa- jasa tertentu dapat dengan mudah dijual dengan harga yang berbeda. Barang seperti itu biasanya berbentuk jasa perseorangan seperti jasa seorang dokter, ahli hukum, penata rambut dan sebagainya. Mereka dapat menetapkan tarif mereka berdasarkan kemampuan langganan untuk membayar, orang kaya dikenakan tarif yang tinggi, sebaliknya orang miskin diberi diskon. 
3. Sifat permintaan dan elastisitas permintaan dimasing-masing pasar haruslah sangat berbeda.
Kalau permintaan dan elastisitas permintaan adalah sangat bersamaan dikedua pasar tersebut, keuntungan tidak akan diperoleh dari kebijakan tersebut. Biasanya diskriminasi dijalankan apabila elastisitas permintaan dimasing-masing pasar sangat berbeda. Apabila permintaan tidak elastis, harga akan ditetapkan pada tingkat yang relatif  tinggi, sedangkan di pasar yang permintaanya lebih elastis, harga ditetapkan pada tingkat yang rendah. Dengan cara ini penjualan dapat diperbanyak dan keuntungan dimaksimumkan.
4. Kebijakan diskrimanasi harga tidak memerlukan biaya yang melebihi tambahan keuntungan yang diperoleh tersebut.
Adakalanya melaksanakan kebijakan diskriminasi harga harus mengeluarkan biaya. Apabila kebijakan tersebut dilakukan di dua daerah yang berbeda, maka biaya untuk mengangkut harus dikeluarkan. Dan sekiranya dilakukan di daerah yang sama, biaya yang dikeluarkan mungkin dalam bentuk iklan. Apabila biaya yang dikeluarkan adalah melebihi pertambahan keuntungan yang diperoleh dari diskriminasi harga, tidak ada manfaatnya untuk menjalankan kebijakan tersebut.
5. Produsen dapat mengeksploiter beberapa sikap tidak rasional konsumen. 
Ini misalnya dilakukan dengan menjual barang yang sama tetapi dengan merk/cap, pembungkusan, dan kampanye iklan yang berbeda. Dengan cara ini produsen dapat menjual barang yang dikatakannya bermutu tinggi kepada konsumen kaya dan sisanya kepada golongan masyarakat lainnya. Cara lain adalah menjual barang yang sama, tetapi dengan harga berbeda pada daerah pertokoan yang berbeda.di daerah pertokoan orang kaya harganya dimahalkan daripada di daerah pertokoan orang miskin.

B. Tingkatan- Tingkatan Diskriminasi Harga
Secara umum diskriminasi harga dapat dibagi dalam tiga tingkat , yaitu:
Jenis Diskriminasi Harga Atribute/sifat Contoh
Tingkat III Kelas-kelas pembeli yang berbeda, dikenai harga yang berkelainan Potongan harga tiket pertunjukkan atau fasilitas transportasi untuk mahasiswa dan lansia
Tingkat II Penurunan harga untuk setiap penambahan unit; semakin banyak unit yang dibeli, harga rata-rata per unit semakin murah Tarif PLN berbeda untuk perusahaan dan rumah tangga; pemberian diskon di supermarket atau toko-toko (semakin banyak kita membeli suatu produk maka semakin rendah harga yang dibayarkan)
Tingkat I Setiap pembeli dikenai atau terkena harga yang sama (tinggi) sehingga tidak ada bedanya bagi mereka untuk membeli atau tidak membeli suatu produk Penjualan souvenir/ cidera mata yang sudah termasuk ongkos tour wisata sehingga mau tidak mau terbeli

 
 
 

C. Pemilahan Pasar
Pemilahan pasar juga disebut pasar sasaran (Target Market). Pemilahan pasar merupakan kegiatan menilai dan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu perusahaan. Pasar sasaran adalah sekelompok konsumen atau pelanggan yang secara khusus menjadi sasaran usaha pemasaran bagi sebuah perusahaan. Selama ini terlihat gejala semakin banyak perusahaan memilih pasar sasaran yang akan dituju, keadaan ini dikarenakan mereka menyadari bahwa pada dasarnya mereka tidak dapat melayani seluruh pelanggan dalam pasar tersebut. Terlalu banyaknya pelanggan, sangat berpencar dan tersebar serta bervariatif dalam tuntutan kebutuhan dan keinginannya.
Karena konsumen yang terlalu heterogen itulah maka perusahaan perlu mengkelompokkan pasar menjadi segmen-segmen pasar, lalu memilih dan menetapkan segmen pasar tertentu sebagai sasaran. Dengan adanya hal ini, maka perusahaan terbantu untuk mengidentifikasi peluang pasar dengan lebih baik, dengan demikian perusahaan dapat mengembangkan produk yang tepat, dapat menentuan saluran distribusi dan periklanan yang sesuai dan efisien serta mampu menyesuaikan harga bagi barang atau jasa yang ditawarkan bagi setiap target pasar
Dalam menerapkan pasar sasaran, terdapat tiga langkah pokok yang harus diperhatikan, sebagai berikut. 
1. Segmentasi Pasar
Segmentasi pasar adalah kegiatan membagi-bagi pasar yang bersifat heterogen dari suatu produk kedalam satuan-satuan pasar (segmen pasar) yang bersifat homogen. Pada dasarnya segmentasi pasar adalah suatu strategi yang didasarkan pada falsafah manajemen pemasaran yang orientasinya adalah konsumen. Dengan melaksanakan segmentasi pasar, kegiatan pemasaran dapat dilakukan lebih terarah dan sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien dalam rangka memberikan kepuasan bagi konsumen.
Secara umum setiap perubahan akan mensegmentasikan pasarnya atas dasar:
a. Segmentasi atas dasar geografis, segmentasi pasar ini dilakukan dengan cara membagi pasar kedalam unit-unit geografis seperti negara, propinsi, kabupaten, kota, desa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini perusahaan akan beroperasi disemua segmen, akan tetapi, harus memperhatikan perbedaan kebutuhan dan selera yang ada di masing-masing daerah.
b. Segmentasi atas dasar demografis, segmentasi pasar ini dapat dilakukan dengan cara memisahkan pasar kedalam kelompok-kelompok yang didasarkan pada variabel-variabel demografis, seperti umur, jenis kelamin, besarnya keluarga, pendapatan, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.
c. Segmentasi atas dasar psychografis, segmentasi pasar ini dilakukan dengan cara membagi-bagi konsumen kedalam kelompok-kelompok yang berlainan menurut kelas sosial, gaya hidup, berbagai ciri kepribadian, motif pembelian, dan lain-lain.
2. Penetapan Pasar Sasaran (Target Market)
Apabila perusahaan ingin menentukan segmen pasar mana yang akan dimasukinya, maka langkah yang pertama adalah menghitung dan menilai porensi profit dari berbagai segmen yang ada tadi. Maka dalam hal ini pemasar harus mengerti betul tentang teknik-teknik dalam mengukur potensi pasar dan meramalkan permintaan pada masa yang akan datang. Teknik-teknik yang dipergunakan ini sangat bermanfaat dalam memilih pasar sasaran, sehingga pemasar dapat menghindarkan kesalahan-kesalahan yang bakal terjadi, atau paling tidak menguranginya sekecil mungkin dalam prakteknya. 
Maka untuk tujuan tersebut perusahaan harus membagi-bagi pasar menjadi segmen-segmen pasar utama, setiap segmen pasar kemudian dievaluasi, dipilih dan diterapkan segmen tertentu sebagai sasaran. Dalam kenyataannya perusahaan dapat mengikuti salah satu diantara lima strategi peliputan pasar, yaitu:
a. Konsentrasi pasar tunggal, ialah sebuah perusahaan dapat memusatkan kegiatannya dalam satu bagian daripada pasar. Biasanya perusahaan yang lebih kecil melakukan pilihan ini.
b. Spesialisasi produk, sebuah perusahaan memutuskan untuk memproduksi satu jenis produk. Misalnya sebuah perusahaan memutuskan untuk memproduksi hanya mesin tik listrik bagi sekelompok pelanggan.
c. Spesialisasi pasar, misalnya sebuah perusahaan memutuskan untuk membuat segala macam mesin tik, tetapi diarahkan untuk kelompok pelanggan yang kecil.
d. Spesialisasi selektif, sebuah perusahaan bergerak dalam berbagai kegiatan usaha yang tidak ada hubungan dengan yang lainnya, kecuali bahwa setiap kegiatan usaha itu mengandung peluang yang menarik.
e. Peliputan keseluruhan, yang lazim dilaksanakan oleh industri yang lebih besar untuk mengungguli pasar. Mereka menyediakan sebuah produk untuk setiap orang, sesuai dengan daya beli masing-masing.

3. Penempatan Produk (Product Positioning)
Penempatan produk mencakup kegiatan merumuskan penempatan produk dalam persaingan dan menetapkan bauran pemasaran yang terperinci. Pada hakekatnya penempatan produk adalah tindakan merancang produk dan bauran pemasaran agar tercipta kesan tertentu diingatan konsumen. Bagi setiap segmen yang dimasuki perusahaan, perlu dikembangkan suatu strategi penempatan produk. Saat ini setiap produk yang beredar dipasar menduduki posisi tertentu dalam segmen pasamya. Apa yang sesungguhnya penting disini adalah persepsi atau tanggapan konsumen mengenai posisi yang dipegang oleh setiap produk dipasar.

 

D. Multiproduct
Monopoli bisa memaksimumkan produk dengan cara: multimarket, multiplant, dan multiproduct. Multi product adalah perusahaan yang menggunakan input sama tetapi output berbeda. Strategi ini ditujukan bagi perusahaan yang memproduksi banyak produk yang bersifat komplementer dalam proses produksi..  mudah diterapkan dalam pengaturan produk tunggal. Namun, kebanyakan perusahaan memproduksi dan menjual sejumlah produk atau jasa. Meskipun kompleksitas konseptual dari analisis CVP lebih tinggi dalam situasi multi produk, pengoperasiannya tidak berbeda jauh. 
Beban tetap langsung (direct fixed expenses) adalah biaya tetap yang dapat ditelusuri ke setiap produk dan akan hilang jika produk tersebut tidak ada. Biaya tetap umum adalah biaya tetap yang tidak dapat ditrlusuri kr produk dan akan tetap muncul meskipun salah satu produk dieliminasi. 
• Titik Impas dalam Unit
Bagaimana mengetahui banyaknya setiap model yang harus terjual untuk mencapai impas?? Yaitu dengan menggunakan persamaan dimana biaya tetap dibagi dengan margin kontribusi. Persamaan ini dikembangkan untuk analisis produk tunggal. Untuk dua produk, terdapat dua margin kontribusiper unit. Salah satu pemecahan adalah menerapkan analisis secara terpisah ke setiap lini produk. Dengan cara itu, titik impas individu dapat diperoleh jika laba didefinisikan sebagai margin produk. 
Margin produk impas hanya menutupi biaya tetap langsung. Sementara itu, biaya tetap umum masih belum tertutupi. Titik impas perusahaan belum ada  yang diidentifikasi secara keseluruhan. Bagaimanapun, biaya tetap umum masih harus diperhitungkan dalam analisis. 
Pengalokasian biaya tetap umum ke setiap lini produk sebelum menghitung titik impas dapat mengatasi kesulitan ini. Permasalahan dalam pendekatan ini adalah alokasi biaya tetap umum bersifat acak. Jadi, tidak ada volime impas yang tampak secara langsung. 
Pemecahan lainnya adalah mengkonversikan masalah multiproduk menjadi masalah produk tunggal. Jika hal ini dapat dilakukan, maka seluruh metodologi CVP produk tunggal dapat diterapkan secara langsung. Kunci dari konversi ini adalah mengidentifikasi bauran penjualan yang diharapkan dalam unit dari produk-produk yang dipasarkan. Bauran penjualan (sales mix) adalah kombinasi relatif dari berbagai produk yang dijual perusahaan.
 
• Penentuan Bauran Penjualan 
Bauran penjualan dapat diukur dalam unit yang terjual atau bagian dari pendapatan. Bauran penjualan juga dapat dinyatakan dalam presentase dari total pendapatan yang dikontyribusikan oleh setiap produk. Apa beda dari keduanya?? Yaitu bauran penjualan dalam pendapatan menggunakan bauran penjualan dalam unit dan memberikannya bobot menurut harganya. Untuk analisis CVP, harus menggunakan bauran penjualan yang dinyatakan dalam unit. 
• Bauran Penjualan dan Analisis CVP
Penentuan bauran penjualan tertentu memungkinkan kita untuk mengkonversi masalah multi produk ke dalam CVP produk tunggal. Dengan menetapkan produk tersebut dalam satu paket, masalah multiproduk dikonversi menjadi masalah produk tunggal. Untuk menggunakan pendekatan titik impas dalam unit, harga jual per paket dan biaya variabel per paket harus diketahui. Untuk menghitung nilai-nilai paket tersebut, diperlukan bauran penjualan, harga setiap produk, dan setiap biaya variabel. 
Untuk bauran penjualan tertentu, analisis CVP dapat digunakan seolah-olah perusahaan menjual produk tunggal.Namun, berbagai tindakan yang mengubah harga setiap produk dapat mempengaruhi bauran penjualan karena pelanggan mengkin membeli produk tersebut relatif lebih banyak atau lebih sedikit. Perlu diingat bahwa sebuah bauran penjualan yang baru akan mempengaruhi unit dari setiap produk yang perlu dijual untuk mencapai target laba yang diinginkan. Jika bauran penjualan untuk periode mnedatang tidak pasti, maka bauran penjualan yang berbeda munkinj perlu dipertimbangkan. Denganh cara ini manajer dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai berbagai hasil yang mungkin dicapai perusahaan. 
Cara lain untuk menangani meningkatnya kompleksitas tersebut adalah beralih dari pendekatan unit yang terjual ke pendekatan pendapatan penjualan. Pendekatan ini mapu menyelesaikan analisis CVP multiproduk hanya menggunakan data ikhtisar yang terdapat dalam laporan laba rugi perusahaan. Syarat-syarat yang diperlukan untuk menghitung jauh lebih sederhana.



 

 







BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diskriminasi harga adalah suatu kemampuan monopoli untuk menjual suatu produk yang sama di segmen pasar yang berbeda pada tingkat harga tertentu. Terdapat tiga tingkatan diskriminasi harga, yaitu:
1.  Diskriminasi Harga III: Kelas-kelas pembeli yang berbeda, dikenai harga yang berkelainan.
2.  Diskriminasi Harga II: Penurunan harga untuk setiap penambahan unit; semakin banyak unit yang dibeli, harga rata-rata per unit semakin murah.
3.  Diskriminasi Harga I: Setiap pembeli dikenai atau terkena harga yang sama (tinggi) sehingga tidak ada bedanya bagi mereka untuk membeli atau tidak membeli suatu produk.
Pemilahan pasar merupakan kegiatan menilai dan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu perusahaan. Dalam menerapkan pasar sasaran, terdapat tiga langkah pokok yang harus diperhatikan, yaitu segmentasi pasar, penetapan pasar sasaran dan penempatan produk. Monopoli bisa memaksimumkan produk salah satunya dengan cara multiproduct. Multi product adalah perusahaan yang menggunakan input sama tetapi output berbeda.


B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak kesalahan dan jauh dari sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan dalam makalah di atas.




DAFTAR PUSTAKA
Kelana, Said. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Miller, Roger LeRoy dan Meiners, Roger E. 1993. Teori ekonomi mikro intermediate, Terj. Haris Munandar. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sukirno, Sadono. 2014. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
http://seminarmanajemenpemasaran.blogspot.com/2011/02/langkah-memilih-pasar sasaran.html
https://www.academia.edu/9273833/Stuktur_Pasar_dan_Strategi_Penetapan_Harga_Mat ri_ertemuan_8